Kamis, 27 November 2008

Saling Memahami

Menikah dan hidup berbagi dengan suami adalah hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Kehidupan sebelum menikah yang hanya terpusat pada diri sendiri harus berubah serta merta dengan hadirnya orang lain yang juga membutuhkan perhatian kita. Karenanya, tiga bulan pertama pasca menikah adalah rutinitas yang mengejutkan. Jadwal-jadwal kegiatan yang harus bergeser, prioritas yang berubah, pekerjaan yang terasa penuh, waktu sehari rasanya tak cukup untuk menyelesaikan semua urusan. Akhirnya aku sering uring-uringan, yang menjadi victim…, tentu saja suami.

Sebagai seorang dosen di sebuah universitas negeri, tentunya aku punya banyak kesibukan untuk memenuhi kewajiban profesi dan tridharma perguruan tinggi. Waktuku yang tersisa selama ini aku gunakan untuk mengajar di perguruan tinggi swasta. Aku tidak mau meninggalkan rutinitas tambahan itu setelah menikah dengan pertimbangan bahwa suamiku kerja sebagai pegawai dengan status kontrak di Pemda. Hidup di rumah kontrakan, kebutuhan hidup rumah tangga baru yang banyak serta tidak mendapatkan sokongan dana dari orang tua juga menjadi salah satu alasanku. Karena itu pula kami belum mau menggaji pembantu rumah tangga.

Sebelum menikah, rutinitas pagi hari sebelum ke kampus biasanya aku habiskan di depan komputer untuk menulis artikel atau menyelesaikan laporan penelitian sambil mendengarkan berita pagi dari televisi. Rasanya ide-ide mengalir lebih mudah, lagipula aku merasa masih segar dan bersemangat. Kini pagi hariku kulewatkan dengan membuat sarapan, menyeterika baju dan tetek bengek lainnya, rumah harus rapi sebelum ditinggal karena aku juga gengsi bila dicap suami sebagai istri yang tidak becus mengurus rumah.

Yang menyebalkan, kadang-kadang aku dan suami harus rebutan komputer. Pekerjaan tambahannya yang menuntutnya untuk kerja lembur di rumah memungkinkan ia menerima penghasilan tambahan diluar honornya. Sementara, aku sendiri mempunyai pekerjaan yang harus diselesaikan dengan pertolongan komputer. Buntut-buntutnya, aku suka ngambek, pas lagi kerja suami permisi pinjam komputer. Atau dilain waktu, aku yang kesal karena harus antri menunggu suami selesai kerja dengan komputer. Beli laptop? Huh...boro-boro, masih banyak prioritas utama untuk dibeli, begitu kata suamiku.

Salah satu hal yang sering bikin aku senewen adalah kebiasaannya yang nggak rapi. Saban hari aku mesti memungut pakaian kotornya di tempat tidur, sepatu dan kaus kaki di kolong meja, sampah kertas di sekitar meja kerja dan sebagainya. Sekali aku tegur, ia ingat untuk disiplin tapi kali berikutnya, kebiasaan jelek itu diulang lagi. Akhirnya aku simpan keranjang pakaian kotor di samping tempat tidur dan tempat sampah kecil di samping meja komputer. Tapi sepatunya masih sering berkeliaran di mana-mana.

Awalnya, semua terasa berat. Aktivitas yang bejibun ditambah tugas rumah tangga bikin aku senewen. Merasa kewalahan, aku akhirnya memutuskan untuk mengurangi kegiatan di luar dengan sukarela. Keterlibatanku di sejumlah organisasi aku kurangi, beberapa teman menyayangkan tapi ini keputusan terbaik. Tentu saja suamiku senang!

Satu tahun pertama betul-betul ujian bagiku. Ribut- ribut kecil dengan suami sering terjadi seputar pekerjaan rumah tangga yang menurutku gak ada abis-abisnya. Biasanya suamiku ngalah dan diam saja. Tapi lama-lama aku bete dicuekin kalo ngedumel. Akhirnya suamiku bertanya ”emangnya mama pengennya seperti apa?” Aku bilang aja aku ingin dia ikut memikirkan bagaimana pekerjaan rumah tangga nggak menyita waktuku.

Suatu hari pulang kantor pukul 16.45. rumah lengang, pintu rumah yang terkunci kubuka. Di dalam kamar kutemukan suamiku tidur pulas. Nggak ingin mengganggu, aku berjingkat ke belakang untuk wudhu, tiba-tiba mataku terarah pada pakaian yang berjejer rapi di jemuran. Luar biasa.....! Surprise rasanya memikirkan suamiku mau turun tangan membantu dalam urusan mencuci pakaian. Dan sejak itu jadilah mencuci pakaian rutinitasnya setiap dua hari sekali.

Tapi emang dasar, aku aja kali yang sableng. Beberapa bulan kemudian aku ikut penelitian keluar kota selama sebulan. Pulang dari penelitian di lanjutkan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) tentu saja setelah itu masih harus membuat laporan. Selama masa sibuk itu, jadilah suamiku yang meng-handle sebagian besar pekerjaan rumah. Akibatnya beberapa waktu kemudian ia protes, ”Ma, sibuk melulu kapan dong punya waktu untuk suami?”, mendengar itu aku punya seribu satu alasan tentang kesibukan lainnya, tentang pengabdian masyarakat, keterlibatan di lembaga anu, penelitian ini, pelatihan itu, mengajar di sana-sini, bla, bla, bla, hingga alasan untk mencari tambahan uang”. Suamiku diam, aku puas. Aku lalu mencurahkan diri dalam kesibukan.

Hingga suatu saat, aku sadar ada yang hilang dalam interaksiku dengan suami. Ia menjadi lebih diam, tak lagi protes dan cenderung menarik diri. Aku curiga, ketika kutanya ia hanya menggeleng. Aku jadi gelisah. Aku lalu memperhatikan, ia jarang makan di rumah. Sering terlambat pulang kantor, dan yang paling menyakitkan ia bersikap seakan-akan aku tidak ada.

Aku memutuskan untuk berbicara serius dengannya. Suatu hari ketika ia di rumah aku meluangkan waktu untuk menemaninya. Bertanya dan memaksanya untuk bercerita, maka mengalirlah semua, tentang ketidakpuasannya padaku, tentang kekecewaannya terhadap sikapku dan sebagainya. Aku meradang dan mengatakan (sambil berteriak) ”aku tak pernah menginginkan perkawinan yang hanya menjadi penghalang bagiku untuk maju”. Suamiku tersinggung, dan aku terkejut dengan efek kata-kataku. Suamiku diam dan memandangku dengan pandangan yang tak pernah kulihat sebelumnya, bahkan saat ia masih menjadi sahabatku dulu. Pandangan bercampur marah, terluka dan sakit hati. Aku tahu aku telah melakukan kesalahan. Ia pergi dengan bibir yang bergetar.

Semalaman aku tak bisa tidur, menunggunya pulang dan memikirkan smsnya. ”Aku tidak habis pikir ma, aku sudah berusaha untuk menjadi suami yang baik untukmu, berusaha untuk memahami tapi tak sekalipun kamu hargai. Kalau ingin hubungan ini langgeng, belajarlah menghormati dan menghargai aku meskipun aku belum bisa memberikan lebih”. Membacanya aku menangis, membayangkan semua kebaikan dan kelembutannya selama ini. Dengan perasaan galau aku menelponnya tapi tidak diangkat. Aku lalu mengirim sms, menyatakan penyesalanku, keinginanku untuk berubah dan lebih memahaminya, serta memintanya pulang. Lelah karena emosi, aku tertidur.

Subuh aku terbangun, aku tak sendiri, disampingku suami tidur lelap dengan satu tangan melingkar dipinggangku. Aku menghirup harum cologne-nya dan menempelkan hidung ke pipinya. Aku tahu amarahnya telah surut, dan aku bersyukur karena suamiku tak pernah marah berkepanjangan. Satu hal yang aku tahu aku harus belajar memahaminya, menghargai pemberiannya, menghormatinya sebagaimana seharusnya seorang istri kepada suami, dan menjaga komunikasi yang intens dengannya.

Februari 2008

PERAN MEDIA DALAM PILKADA LANGSUNG

Abstrak

Regulasi pemerintah tentang pemilu legislatif, pilpres dan pilkada, merupakan upaya untuk mewujudkan desentralisasi pemerintahan di daerah sebagai akibat dari reformasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Upaya tersebut masih merupakan proses yang berkelanjutan mengingat rendahnya ekspektasi masyarakat terhadap regulasi yang ada. Terbatasnya ruang politik, kurangnya pemahaman masyarakat tentang peraturan perundang-undangan yang ada serta kurangnya sosialisasi politik pada masyarakat berakibat pada kurangnya partisipasi masyarakat dalam pilkada. Karena itu sosialisasi pilkada sebagai bentuk pendidikan politik masyarakat perlu dilaksanakan. Sosialisasi dapat dilakukan melalui media dengan cara memberikan informasi yang benar dan seimbang mengenai pilkada. Di satu sisi keberadaan media seringkali belum dapat dimanfaatkan masyarakat secara optimal. Preferensi masyarakat atas pilihan politik tidak selalu bersifat rasional. Informasi media; kampanye dan iklan politik tidak banyak mempengaruhi pertimbangan politik masyarakat. Ikatan-ikatan primordial dan ketokohan masih menjadi alasan memilih kandidat dalam pemilihan. Konstituen cenderung bersikap sebagai pemilih konservatif.

Keyword: Media, Pilkada Langsung, Komunikasi Politik, Preferensi, Masyarakat


A. Ruang Politik Masyarakat dalam Pilkada

Dalam Undang-Undang yang mengatur tentang pemilu legislatif, pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) masih terlihat bahwa peran partai politik (Parpol) masih sangat mendominasi dalam kehidupan ketetanegaraan di Indonesia. Walaupun saat ini terdapat kebijakan baru dengan diakomodasinya sistem parlemen dua kamar (bikameral), dimana keanggotaan dalam MPR tidak hanya terdiri dari perwakilan parpol di DPR, tetapi juga berasal dari anggota Dewan Pimpinan Daerah (DPD) yang berasal dari tokoh-tokoh independen (non partai) mewakili daerah yang dipilih melalui pemilu. Namun menurut Jimly Asshiddiqie (2004), kewenangan dalam pembuatan kebijakan-kebijakan strategis nasional masih menjadi monopoli anggota DPR – yang notabene adalah perpanjangan dari parpol. Sementara kewenangan DPD dalam pembuatan kebijakan-kebijakan strategis di tingkat nasional dirasakan masih sangat minim. Maka tidak heran jika ada yang menyebut sistem ketatanegaraan kita saat ini menganut ”Soft bicameralism”

Dominasi parpol dalam proses politik dapat mengakibatkan terbatasnya akses dan lemahnya kontrol masyarakat sipil (civil society) terhadap penyelenggaraan negara. Sebab masyarakat dikondisikan untuk menerima bahwa parpol adalah satu-satunya saluran utama untuk memperjuangkan kepentingan sekaligus sebagai sarana kaderisasi dan rekruitmen kepemimpinan nasional dan penyelenggaraan negara.

Dengan di berlakukannya Undang-Undang (UU) No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah Tahun 2004 yang diperkuat oleh Peraturan Pemerintah (PP) No. 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, menandakan regulasi bersejarah pemilihan kepala daerah secara langsung. Pilkada langsung diharapkan akan melahirkan pemimpin-pemimpin baru di daerah yang berkualitas, yang tidak dihasilkan oleh proses konspirasi politik lokal. Singkatnya, pelaksanaan pilkada langsung erat kaitannya dengan kesiapan institusi dan masyarakat daerah dalam melaksanakannya.

Oyugi (2000) mengemukakan, secara konseptual, urgensi diterapkannya sistem pilkada langsung sangat erat terkait dengan upaya untuk mewujudkan tujuan hakiki dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, yaitu terciptanya pemerintahan daerah yang demokratis dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Kendati pada tataran teoritis, hingga saat ini keterkaitan secara langsung antara kebijakan desentralisasi dengan upaya untuk mewujudkan demokratisasi dan kesejahteraan masyarakat di tingkat lokal tersebut masih diperdebatkan.

Disatu sisi UU No 32/2004 adalah bentuk reformasi dibidang kebijakan politik desentralisasi yang semakin progressif karena di dalamnya memuat tentang tatacara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, namun di sisi yang lain, juga terdapat celah yang menunjukkan minimnya ruang politik (politic space) masyarakat sipil di daerah untuk terlibat dalam proses-proses politik di tingkat lokal.

Dalam salah satu ketentuannya, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum daerah (KPUD) yang bertanggung jawab kepada DPRD (pasal 57 Ayat 1). Dengan demikian Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak lagi mempunyai ”hubungan struktural” dengan KPUD. Namun pasal ini akhirnya melahirkan ketergantungan terhadap DPRD dan bukannya pada masyarakat di daerah. Pasal 66 Ayat 3d mengenai pengaturan pengawasan di serahkan kewenangannya kepada panitia pengawas (Panwas) yang dibentuk oleh DPRD. Dengan kondisi yang demikian tentu tidak salah bila banyak kalangan kemudian mengkhawatirkan independensi dan kemandirian KPUD dan panwas dalam melaksanakan tugas yang bebas dari tekanan elit politik lokal yang duduk dalam lembaga tersebut.

Pembatasan ruang politik bagi masyarakat sipil dalam pilkada menurut Sarijo (2004), juga terlihat dalam ketentuan proses pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang harus lewat pintu parpol, yaitu diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol yang memiliki sekurang-kurangnya 15% kursi di DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara syah pada pemilu legislatif (pasal 59 Ayat 2). Sehingga tertutup mekanisme independen di luar parpol dalam seleksi pencalonan kepala daerah dalam pilkada langsung. Padahal di negara lain yang memberlakukan sistem pemilihan langsung memberi kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk mencalonkan diri melalui banyak pintu (tidak hanya melalui partai politik tapi juga assosiasi, organisasi masyarakat, organisasi profesi dan sebagainya).

Semangat reformasi kebijakan desentralisasi politik cenderung masih setengah hati. UU yang mengatur tentang pemerintah daerah masih meniupkan atmosfir ”resentralisasi” dalam pelaksanaan Pilkada. Regulasi yang ada belum juga mengatur tentang wilayah pertanggung jawaban kepala daerah yang memberi peluang kepada masyarakat sipil untuk lebih berperan aktif. Seharusnya dalam pilkada langsung dimana masyarakat memilih langsung kepala daerahnya maka berhak untuk mendapatkan pertanggungjawaban dari individu yang telah dipilihnya. Namun dalam pasal 27 Ayat 2 pertanggungjawaban kepala daerah justru ditujukan kepada DPRD, yang tidak representatif dalam mewakili masyarakat.

Hampir semua negara yang menjalankan sistem perwakilan terdapat kecenderungan bahwa wakil rakyat adalah kelompok elit yang seringkali tidak mempunyai hubungan langsung dengan konstituennya. Demokrasi perwakilan seringkali mengalami captured by elite (pembajakan oleh kelompok elit). Menurut Weimer dan Vining (1992) Demokrasi perwakilan juga mempunyai kelemahan internal yaitu kelemahan antarwaktu, yakni adanya jarak yang cukup lama antara satu pemilihan dengan pemilihan berikutnya, yang memungkinkan para wakil melupakan janji-janji kampanye yang disebabkan oleh kebutuhan pragmatis, kepentingan pribadi maupun penyalahgunaan jabatan.

Kecenderungan lainnya adalah demokrasi perwakilan membuat rasa kepemilikan masyarakat terhadap pemerintah semakin rendah. Proses pemerintahan hanya dipandang sebagai wacana negosiasi dan difusi kepentingan partai politik di lembaga legislatif. Proses ini, menurut Wainwright (2003) dapat mengurangi legitimasi pemerintah, jumlah pemilih cenderung menurun karena pemilih menganggap proses-proses pemerintahan tidak terkait langsung dengan kepentingan mereka. Untuk itu perlu komunikasi langsung antara pemerintah dengan masyarakat di luar jalur partai politik.

Komunikasi langsung tersebut merupakan ruang bagi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi politiknya. Ruang yang terbuka dan adil merupakan wahana bagi pembelajaran politik masyarakat sipil dalam bernegosiasi dengan pemerintah dan memutuskan yang terbaik mengenai kebijakan yang bersifat publik.

B. Sosialisasi Pilkada sebagai bentuk Pendidikan Politik

Pelaksanaan pilkada langsung tidak dapat terlaksana sebagaimana yang diharapkan jika democratic behaviour (perilaku demokrasi) belum eksis di tataran elit penyelenggara pemerintahan, maupun dikalangan masyarakat. Menurut Syarif Hidayat, Substanstive democracy masih kurang relevan dijadikan landasan berfikir dalam memahami praktik pilkada ...................sebab masih minimnya perilaku demokrasi baik di tataran penyelenggara negara maupun masyarakat. Akibatnya proses politik masih lebih banyak didominasi oleh interaksi, kompetisi, dan kompromi kepentingan-kepentingan antara elit penguasa, pada satu sisi, dan elit masyarakat (societal actor), pada sisi lain.

Sistem perwakilan, dan kenyataan tidak terwakilinya aspirasi sebagian besar masyarakat yang diakibatkan oleh sistem dan perilaku elit menyebabkan terbatasnya ruang bagi masyarakat sipil di daerah untuk terakses pada sistem politik dan pemerintahan. Terbatasnya ruang politik bagi masyarakat daerah dalam pelaksanaan pilkada langsung, hendaknya harus disikapi dengan upaya konsolidasi masyarakat sipil di daerah melalui pendidikan politik. Salah satunya adalah dengan mengadakan sosialisasi yang terus menerus mengenai hak dan kewajiban masyarakat dalam pilkada.

Pendidikan politik dikenal dengan istilah political forming atau politische bildung. Disebut forming karena di dalamnya terkandung intensitas untuk membentuk insan politik yang menyadari status, kedudukan politiknya di tengah masyarakat, sedangkan disebut bildung yang berarti pendidikan diri sendiri, karena istilah ini menyangkut aktivitas membentuk diri sendiri dengan kesadaran penuh tanggung jawab untuk menjadi insan politik (Khoiron dkk, 1994)

Pendidikan politik pada hakikatnya menyangkut relasi antar individu, atau individu dengan masyarakat di tengah medan sosial politik dalam menghadapi situasi yang berbenturan antara kepentingan masyarakat secara luas di satu sisi dan negara di sisi lain. Sehingga pendidikan politik berfungsi untuk menyadarkan warga negara untuk sampai pada pemahaman politik atau aspek-aspek politik dari setiap permasalahan sehingga dapat mempengaruhi dan ikut mengambil keputusan di tengah medan politik dan pertarungan kepentingan. Pendidikan politik diselenggarakan sebagai upaya edukatif yang sistematis dan intensif untuk memantapkan kesadaran politik dan kesadaran bernegara.

Sosialisasi politik menurut Hess dan Newman adalah proses mentransmisi pola-pola nilai dan perilaku politik yang stabil dalam suatu masyarakat. Semua pembelajaran politik baik formal maupun informal, tidak hanya melibatkan belajar politik secara eksplisit. (Effendi, 1989). Sehingga dalam hal ini, ada satu kajian yang berhubungan erat dengan sosialisasi politik, yaitu teori belajar sosial (social learning theory). Menurut teori ini, seseorang mempelajari perilaku baru dengan dua cara, pertama, belajar melalui konsekuensi respon (learning by response consequences), dan kedua, belajar melalui peniruan (learning through modelling). Perubahan kognisi politik sebagai salah satu hasil belajar (sosialisasi) politik bermula dari pengamatan terhadap suatu peristiwa dan respon yang diberikan terhadap peristiwa tersebut, kemudian menjadi behavior system yang mengendap. Hal tersebut dapat menjadi agen yang merubah perilaku. Sementara itu di lain pihak peristiwa-peristiwa politik yang terjadi secara sistematis, baik langsung maupuin tidak langsung secara metodis mampu menciptakan adaptasi terhadap perilaku sehingga menimbulkan peniruan.

Sosialisasi politik akan berhasil jika ditunjang oleh saluran yang representatif. Saluran yang selama ini dianggap efektif dalam menyampaikan informasi politik adalah melalui saluran komunikasi massa, saluran komunikasi interpersonal, dan saluran komunikasi organisasi. Saluran komunikasi massa merupakan komunikasi yang berasal dari satu sumber kepada banyak khalayak. Ada dua bentuk saluran massa yang dibedakan oleh langsung tidaknya komunikasi yang dijalankan. Bentuk yang pertama adalah komunikasi tatap muka antara komunikator politik dengan audiensnya. Bentuk kedua adalah komunikasi yang menggunakan media massa sebagai perantara.

Soemarno (2001) mengemukakan, fungsi saluran massa dalam kegiatan politik adalah untuk menyampaikan informasi politik, sebagai fungsi partisipasi, fungsi sosialisasi dan pendidikan politik, fungsi mengembangkan budaya politik serta fungsi integritas bangsa. Sementara Robert dalam rakhmat (1985), mengatakan bahwa efek dari komunikasi massa adalah perubahan perilaku manusia setelah menerima terpaan media.

Pesan politik yang disampaikan baik oleh media maupun melalui komunikasi secara langsung dengan komunikator politik; individu maupun organisasi secara konsisten dan sistematis dapat mengubah perilaku politik masyarakat. KPUD, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, partai politik dan pemerintah dapat menjadi ”guru yang baik” bagi masyarakat bila masing-masing dapat menjalankan peran sosial politiknya dengan baik. Wacana pendidikan politik bagi masyarakat dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk, tetapi yang terpenting adalah bagaimana memastikan partisipasi masyarakat dalam penyusunan dan laju gerak political will di negara ini. Sehingga masyarakat bukan hanya sebagai obyek politik tapi juga berperan sebagai subyek politik .

C. Pengaruh Media dan Preferensi Masyarakat

Pemilihan kepala daerah langsung adalah salah satu ruang bagi masyarakat dalam merealisasikan partisipasi politik. Karenanya momen ini hendaknya benar-benar bebas pressure dari pemerintah dan juga pers. Tidak hanya dalam dimensi kebebasan tapi juga penghargaan terhadap pilihan politik yang telah ditetapkan oleh masyarakat sebagai pemilih.

Dimensi kebebasan dan penghargaan terhadap hak politik, khususnya dalam pemilihan kepala daerah berarti membuka peluang yang luas dan memberi kesempatan pada masyarakat untuk mendapatkan the real political education. Pendidikan politik tentunya tidak saja dimaknai dalam konteks pendidikan yang bersifat formal tapi juga pendidikan informal melalui knowledges by experiences. Masyarakat belajar memilih pemimpin berdasarkan pilihan atas kriteria yang dianggap dapat mewakili figur yang diinginkan. Namun kemudian yang menjadi poin penting dalam hal ini adalah, sejauh mana masyarakat dapat mengidentifikasi seorang kandidiat politik yang mewakili kriteria yang ideal menurut mereka, dari mana sumber pengetahuan mereka tentang itu dan bagaimana mendapatkan informasi tersebut. Beberapa kalangan menyebutkan bahwa sumber informasi yang banyak diadopsi oleh masyarakat adalah melalui media massa.

Benarkah media massa mempengaruhi perilaku politik memilih (voting behavior) khalayak ? Pada dasarnya, dampak pemberitaan kampanye politik melalui media massa tidak sehebat yang diduga, mengingat khalayak, khususnya di daerah yang cenderung bersifat konservatif dalam menentukan pilihannya. Hal ini dipengaruhi oleh budaya kolektivitas dan paternalistik yang dianut oleh sebagian besar masyarakat indonesia. Nilai, cita-cita, harapan, pilihan dan keputusan individu masih sangat dipengaruhi oleh kelompok dan pemimpin kelompoknya. Keberhasilan dalam mempengaruhi seorang tokoh masyarakat (opinion leader) untuk memasuki partai tertentu akan membuka peluang besar bagi masuknya anggota masyarakat dari tokoh tersebut. Straubhaar dan La Rose (1996 ), mengemukakan pemberitaan kampanye politik tidak begitu berpengaruh untuk mengubah perilaku memilih, tetapi hanya memperteguh kecenderungan yang sudah ada

Kampanye politik di daerah melalui media massa juga dianggap kurang efektif karena durasi kampanye melalui media massa jauh lebih pendek (hanya masa kampanye) dari pada kampanye penjualan barang. Tidak mudah mengubah perilaku memilih masyarakat terhadap kandidat politik dan partai politik dengan waktu sesingkat itu. Efek media massa hanya dapat menjadi lebih kuat bila diimbangi dengan komunikasi tatap muka; komunikasi antarpersona dan komunikasi organisasi. Kedua bentuk komunikasi tersebut dapat memperteguh pesan yang disampaikan oleh media massa.

Komunikasi antarpersona, lebih mempengaruhi khalayak dari pada komunikasi massa dalam memilih kandidiat politik. Menurut Klapper (1978), kelompok ini ditandai dengan pandangan-pandangan tertentu dan sering menjadi sumber serta mengarahkan pandangan individu. Lewat komunikasi formal dan informal, kelompok-kelompok ini berfungsi sebagai mediator bagi pembentukan pemgaruh komunikasi massa atas anggota-anggotanya. Diskusi kelompok membuat kesadaran mengenai pesan yang disetujui kelompok. Karenanya mereka cenderung memantau saluran komunikasi yang menyiarkan pandangan-pandangan yang diterima kelompok dan menghindari komunikasi yang bertentangan dengan pandangan kelompok. Para anggota kelompok juga biasanya lebih mengingat pesan yang membuat mereka lebih bersimpati daripada pesan yang membuat mereka tidak bersimpati.

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sehubungan dengan preferensi pilihan konstituen, terdapat gambaran yang jelas bahwa sebagian anggota masyarakat di pedesaan berpikiran irasional sehubungan dengan kepartaian. Mereka mengganggap bahwa keanggotaan dalam partai adalah bawaan. Loyalitas kepartaian cenderung membabi buta dan sentimentil. Sementara isu dan ketokohan kandidiat dianggap kurang penting. Tidak sedikit yang memilih partai politik dan tokoh tertentu karena keterikatan psikologis. Ini biasanya diidentifikasikan sebagai pemilih konservatif. Berlawanan dengan itu pemilih rasional dianggap sebagai pemilih yang lebih mengedepankan isu dan ketokohan kandidiat dalam memilih. Pemilihan partai disebabkan kesamaan ideologis dan ketertarikan moralitas.

Masih kuatnya pemilih konservatif di indonesia, setidaknya menunjukkan dua hal; pertama masyarakat menganggap figur (siapa kandidatnya) jauh lebih penting dari pada partai politik yang mengusung kandidat. Kedua, partai belum mampu melakukan kaderisasi dengna baik. Sehingga seringkali terjadi adanya partai yang berkoalisi dengan dengan partai lain yang mempunyai ideologi yang berbeda, misalnya Koalisi PKS dan PDIP di Yogyakarta. Namun ada juga kalangan yang menganggap bahwa kondisi ini merupakan akibat dari pemilihan dengan sistim distrik.

Loyalitas terhadap partai dan tokoh politik juga ditunjukkan oleh adanya kecenderungan incumbent 18,2% dari seluruh pemilihan kepala daerah propinsi se-Indonesia. Kecenderungan ini terlihat semakin besar di pemilihan kepala daerah kabupaten/kota. Di Propinsi Jawa Timur bahkan mencatat dari semua pilkada kabupaten-kota, 80 % di antaranya incumbent. (Survai Metro TV, 2006)

Siap tidaknya masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam pilkada di daerah bergantung pada terbangunnya kesadaran politik yang mengikat mereka dalam sebuah pemahaman tentang pentingnya menggunakan hak politik sekaligus menjalankan kewajiban politiknya demi untuk kesejahteraan dan keadilan. Namun, tinggi rendahnya kesadaran politik di tentukan oleh kapasitas pemahaman tentang politik partisipatif dari masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini media dalam kapasistasnya sebagai social agent dan control agent dapat berperan guna membangun kesadaran politik sekaligus mengontrol perilaku politik para elit melalui pemberitaan dan pemberian informasi yang seimbang dan edukatif.

D. Penutup

Rendahnya ekspektasi dan pemahaman masyarakat di daerah dalam menyikapi peraturan perundang-undangan tentang pilkada, menyebabkan kurangnya partisipasi aktif mereka dalam pelaksanaan pilkada. Perilaku memilih masyarakat yang cenderung konservatif memberikan gambaran mengenai belum sepenuhnya masyarakat menggunakan haknya secara benar. Ikatan-ikatan primordial dan latar belakang ketokohan lebih populer sebagai preferensi pilihan ketimbang isu-isu politik, latar belakang ideologis dan pertimbangan moralitas. Menyikapi hal tersebut perlu adanya sosialisasi dalam bentuk pendidikan politik bagi masyarakat di daerah. Sarana yang dianggap penting untuk itu adalah media massa. Namun kenyataannya media menemui berbagai kendala sehubungan dengan kondisi masyarakat di aras lokal.

Media secara sentral, mempunyai peran sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat melalui fungsinya dalam memberikan informasi dan edukasi. Dalam hal pendidikan politik, media dapat menyediakan berbagai informasi mengenai pilkada sebagai bentuk sosialisasi, menyajikan pemberitaan yang aktual dan berimbang sebagai kontrol terhadap perilaku elit dan memudahkan masyarakat untuk mengaksesnya.

E. Daftar Pustaka

1. Effendi, Onong, Uchjana. 1981. Dinamika Komunikasi. Remaja Karya. Bandung

2. Khoiron, M. Nur dkk.1999. Pendidikan Politik bagi Warga Negara (Tawaran Operasional dan Kerangka Kerja). LKIS. Yogyakarta

3. Mulyana, Deddy. 2001. Kampanye Politik Sebagai Teater dalam Nuansa-Nuansa Komunikasi Meneropong Politik dan Budaya Komunikasi Masyarakat Kontemporer . Remaja Rosdakarya. Bandung

4. Oyugi, O.W. 2000. Decentralisation for Good Governange and Development: The Unending Debate, dalam Regional Development Dialogue, Vol. 21, No. 1, Spring 2000

5. Rakhmat, Jalaluddin. 1985. Psikologi Komunikasi. Remaja Karya. Bandung

6. Sarijo, P. 2004. Mendorong Peran Kritis Organisasi Masyarakat Sipil dalam Penyelenggaraan Pilkada Langsung dalam Agenda Pilkada dan Kesiapan Masyarakat. LSP3RA. Boyolali

7. Soemarno, A.P. 2001. Komunikasi Politik. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka

8. Straubhaar, Joseph, dan Robert La Rose. 1996. Communication Media in the Information Society. Belmont; Wadsworth

9. Wainwright, Hilay. 2003. Reclaim the State: Experiments in Popular Democracy. Sage Publishing. New York

10. Weimer, L. David, dan Aidan R. Vining, 1992. Policy Analysis: Concepts and Practice. Random House. New York

Masih Seputar Pilkada

Lahirnya UU No. 22/1999 menjadi gerbong besar gelombang otonomi daerah. Euforia Pemekaran menggema di seluruh pelosok Indonesia. Gejala ini menjadi trend, hampir merata di seluruh wilayah Indonesia, utamanya daerah di luar pulau Jawa. Terlebih, kenyataan bahwa otonomi daerah juga melibatkan distribusi dana dalam jumlah yang cukup besar, (aliran dana dari pusat dalam bentuk DAU, DAK, Dana dikonsentrasi dll) ini telah membuat tuntutan pemekaran semakin menarik.

Dari rentang waktu tahun 1999-2006, setidaknya ada sekitar 153 daerah baru baik daerah propinsi maupun kabupaten/kota. 148 daerah terbentuk selama masa kepemimpinan Gus Dur danMegawati. Dalam waktu hampir sembilan tahun, jumlah kabupaten/kota membengkak hampir dua kali lipat. Dari jumlah 287 kabupaten/kota pada tahun 1997 menjadi 450 pada tahun 2006 (Kompas,10/3/2007).

Pada dasarnya pemekaran bertujuan untuk meningkatkan dan mendekatkan pelayanan publik pada masyarakat serta membuka akses bagi daerah-daerah terisolir. Namun pemekaran dapat berimplikasi luas jika mekanisme yang dilakukan dalam proses pemekaran tidak berjalan sebagaimana yang diatur oleh undang-undang dan tidak memenuhi persyaratan formal; luas wilayah, kemampuan ekonomi, ketersediaan sumberdaya alam, jumlah penduduk, dan lain-lain.

Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi yang paling banyak melakukan pemekaran. Tercatat hingga saat ini berhasil memekarkan tujuh kabupaten/ kota dalam kurun periode 2001-2007. Yaitu Kabupaten Konawe Selatan, Konawe Utara, Kolaka Utara, Bombana, Wakatobi, Buton Utara dan Kota Bau-bau.

Sebelumnya Sulawesi Tenggara adalah bagian dari Sulawesi Selatan dengan nama Provinsi Sulawesi Selatan Tenggara (Sulselra). Pada tahun 1964 terdapat empat afdeling yang lahir dengan UU No. 13/ 1964 pecahan pemekaran dari Sulawesi Selatan, yaitu Afdeling Buton, Afdeling Muna, Afdeling Kendari dan Afdeling Kolaka. Dalam perkembangannya, keempat afdeling ini menjadi empat Kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara, yaitu Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Kendari dan Kabupaten Kolaka.

Berdasarkan UU No. 6/1995, Kota Administratif Kendari sebagai Ibukota Kabupaten Kendari sekaligus Ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara, ditingkatkan statusnya sebagai kota. Secara administratif, pemerintahan Kota Kendari berdiri otonom dan terpisah dari Kabupaten Kendari. Dengan demikian, ibukota Kabupaten Kendari yang pada mulanya berada di Kota Kendari di pindahkan ke Kota Unaaha. Sementara itu nama Kabupaten Kendari kemudian diubah menjadi Kabupaten Konawe.

Peningkatan status dari Kota administratif menjadi kota juga dilakukan pada Kota Bau-Bau berdasarkan UU No. 13 tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Bau-Bau. Peningkatan status ini sempat tertunda selama dua tahun sejak diberlakukannya UU No. 22/1999. Alasan tertundanya menurut beberapa tokoh yang terlibat dalam peningkatan status tersebut adalah masih banyaknya hal yang perlu untuk dibenahi terkait dengan kesiapan infrastruktur dan suprastruktur daerah. Dengan adanya peningkatan status ini, maka Ibukota Kabupaten Buton yang pada mulanya berada di Bau-bau di pindahkan ke Pasarwajo.

Pada tahun 2003, Kabupaten Konawe kembali dimekarkan, dan melahirkan kabupaten baru, Kabupaten Konawe Selatan yang beribukota di Andolo. Pemekaran ini berdasarkan UU No.4 tahun 2003.

Menyusul pemekaran tersebut, Kabupaten Buton dimekarkan pada tahun 2003 sehingga melahirkan dua kabupaten baru, yaitu Kabupaten Bombana dan Kabupaten Wakatobi. Pada saat yang bersamaan, Kabupaten Kolaka juga dimekarkan sehingga terbentuklah Kabupaten Kolaka Utara. Pemekaran ini merujuk pada UU No. 29 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bombana, Kabupaten Wakatobi, dan Kabupaten Kolaka Utara.

Melalui perjuangan yang cukup panjang, Kabupaten Buton utara kemudian di mekarkan dari Kabupaten Muna pada tahun 2007 dengan UU No. 14/2007 tentang pembentukan Kabupaten Buton Utara dan Konawe Utara. Sementara itu Kabupaten Konawe Utara dimekarkan dari wilayah Kabupaten Konawe.

Dengan maraknya pemekaran tersebut, Sulawesi Tenggara kini telah memiliki 10 kabupaten dan dua kota. Kabupaten Buton berhasil memekarkan sekaligus tiga wilayah; Kota bau-bau, Kabupaten Bombana, dan Kabupaten Wakatobi. Kabupaten Konawe juga memekarkan tiga wilayah; Kota Kendari, Kabupaten Konawe Selatan, dan Kabupaten Konawe Utara. Sementara Kabupaten Muna dan Kabupaten Kolaka masing-masing memekarkan satu wilayah, yaitu Kabupaten Buton Utara dan Kabupaten Kolaka Utara.

Dari pola yang ada selama ini, terdapat dua pendekatan yang dilakukan dalam pembentukan wilayah otonomi baru di Sulawesi Tenggara, yaitu :

· Meningkatkan status wilayah yang telah memiliki infrastruktur yang memadai sebagai wilayah perkotaan. Wilayah –wilayah kecamatan yang sudah mampu dinaikkan statusnya, kehidupan masyarakatnya relatif sejahtera, dan pemerintahan tingkat kecamatan sudah tidak mampu mengelolanya sehingga harus memiliki lembaga-lembaga otonom, DPRD dan lain-lain. Contohnya Kota kendari dan Kota Bau-bau.

· Memekarkan wilayah bagi daerah-daerah terpencil, kurang memiliki akses ke pemerintah daerah. Kondisi ini menyebabkan masyarakat terisolir dan tidak menikmati pelayanan pendidikan dan kesehatan, infrastruktur wilayahnya minim, kehidupan sosialnya rendah tapi potensi wilayahnya luar biasa, contohnya Wakatobi, mempunyai potensi Pariwisata, dan perikanan yang bagus

Peningkatan status daerah dan pemekaran wilayah juga dimaksudkan agar daerah yang bersangkutan dapat mengelola sendiri DAU, DAK, APBD. Serta mempunyai otoritas untuk mencari sumber dana lainnya, baik dari pusat maupun dari luar negeri.

Motif dan Motivasi Pemekaran

Salah satu ide dasar dari penerapan desentralisasi yang diikuti dengan otonomi daerah adalah pendemokrasian di tingkat lokal melalui ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat dan penghargaan terhadap pluralitas. Hal ini dijewantahkan dengan kewenangan daerah yang lebih besar dalam otonomi daerah, kemudian diikuti oleh restrukturisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Namun ide dasar tersebut tidak selalu menjadi motif pemekaran daerah.

Dari berbagai penelitian yang dilakukan di beberapa daerah di indonesia, pemekaran wilayah lebih diwarnai oleh kepentingan politik dari pada semangat penataan daerah. Sebagian elite lokal lebih banyak bermain sebagai makelar pemekaran. Pemekaran wilayah "ditangkap" oleh politikus daerah sebagai peluang. Tidak hanya sebagai cara untuk mengotonomkan daerah dari campur tangan pusat tapi juga kesempatan untuk meluaskan arena pertarungan politik, pengaruh, kekuasaan, dan uang. Karenanya tak heran jika pemekaran wilayah yang diharapkan dapat meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang diamanahkan dalam penjelasan UU No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah, berjalan lamban.

Mengenai motivasi pembentukan daerah baru, Fitrani et al, menurut Aloysius (2007), menyusun empat hipotesis umum yang kemudian diuji secara empiris, yaitu penyebaran geografis, preferensi akan homogenitas, limpahan fiskal (fiscal spoils), dan pemburuan rente birokratis dan politik (bureaucratic and political rent seeking ) yang semuanya dapat saja muncul bersamaan.

Dalam hal penyebaran geografis, yuridiksi mungkin terlalu luas dan penduduk yang terlalu tersebar untuk memenuhi akses masyarakat secara efektif dan representasi oleh pemerintah daerah. Permasalahannya lebih kepada rentang kendali dari pusat pemerintahan daerah ke wilayah-wilayah sekitarnya yang tak terjangkau oleh kebijakan pembangunan daerah. Motivasi ini cenderung lebih ideal dibanding motivasi lainnya, seperti yang terjadi di Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Kolaka Utara.

Preferensi homogenitas terkait dengan kemungkinan bahwa masyarakat cenderung hidup dalam satuan wilayah yang lebih homogen dalam hal etnis, bahasa, agama, ciri-ciri perkotaan-perdesaan ataupun juga dalam hal tingkat pendapatan perkapita. Kabupaten Bombana, misalnya yang dimekarkan dari kabupaten Buton karena secara etnografi dan sosiokultural, masyarakatnya berbeda dengan masyarakat Buton umumnya.

Hipotesis limpahan fiskal merujuk kepada kemungkinan bahwa pemisahan dapat membawa tambahan sumber fiskal seperti dari bagi hasil, DAU, DAK, dana dekonstruksi ataupun peningkatan penerimaan asli daerah (PAD). Hampir semua pemekaran daerah memiliki motivasi ini.

Ada pun mengenai pemburuan rente birokratis dan politik adalah karena pembentukan pemerintahan daerah yang baru dapat menguntungkan birokrat lokal dan kelompok kepentingan lainnya secara langsung, utamanya bila tambahan penerimaan fiskal akan terjadi dengan bertambahnya administrasi baru. Alasan tidak terakomodirnya mantan elit-elit pemerintahan tertentu dalam struktur birokrasi baru juga bisa menjadi sumbu lahirnya pemekaran. Hal yang sama terjadi juga pada partai politik. Partai-partai politik akan berhasrat untuk memekarkan wilayah bila mereka percaya bahwa masa depannya akan lebih baik ketimbang di daerah induk. Suatu partai politik yang kuat di beberapa kecamatan misalnya, akan mengusung terbentuknya daerah baru yang terdiri dari kecamatan-kecamatan itu, dengan maksud di masa depan akan bisa menguasai legislatif di daerah hasil pemekaran tersebut.

Dalam beberapa kasus, kegagalan pengelolaan konflik komunal dapat menjadi motivasi pemekaran wilayah seperti yang terjadi di Sumbawa Barat NTB dan adanya wacana pembentukan Provinsi Sulawesi Timur. Kekacauan politik yang tidak bisa diselesaikan seringkali menimbulkan tuntutan adanya pemisahan daerah.

Menariknya, di Sulawesi Tenggara, faktor kesejarahan dan romantisme kejayaan di masa lalu dapat menjadi motivasi yang kuat untuk melahirkan pemekaran wilayah ditingkat yang lebih tinggi. Misalnya wacana pembentukan Provinsi Buton Raya, yang meliputi Kabupaten Buton, Kota Bau-bau, Kabupaten Muna, dan Kabupaten Waktobi. Daerah-daerah tersebut dulunya pernah menjadi bagian dari Kesultanan Buton.

Pemekaran seharusnya memberikan implikasi positif bagi daerah dan masyarakat khususnya, sepanjang itu dilaksanakan dengan motivasi yang kuat untuk kepentingan masyarakat dan bukan kepentingan politik semata. Dan pemekaran tidak akan menyisakan permasalahan seandainya dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan persyaratan yang diatur dalam Undang-undang dan perangkat hukum lainnya yang mengatur. Namun dalam perkembangannya pemekaran daerah, tidak atau belum juga memberikan indikasi ke arah penataan daerah yang lebih baik. Apakah ada yang salah pada proses pemekaran itu sendiri?

Persoalan Pemekaran Daerah

Sampai dengan saat ini, belum ada strategi yang tepat untuk menjalankan territorial reform sehingga bermuara pada motivasi ideal pemekaran daerah. Bahkan Kerangka penataan daerah yang berakhir pada praktek-praktek yang mendekati realitas belum ditemukan.

Dalam kerangka penerapan otonomi daerah, ada beberapa yang harus dicermati dalam kaitannya dengan kesiapan locally political resourcess. Menurut Purwo Santoso (2007), penekanannya terletak pada tiga hal, yaitu skema pemberian otonomi kepada daerah yang bermuara pada pengembangan indonesia sebagai trans-lokal, peran vital-strategi eksponen-eksponen lokal untuk menjadi perancang dalam skala Indonesia, dan pengenalan terhadap bahaya partisipasi.

Otonomi hanya dapat berhasil jika eksponen lokal mampu mngembangkan kapasitas ganda dalam berpikir dan bekerja (inward looking dan outward looking). Dalam perkembangannya, selama ini daerah hanya sanggup berpikir ke dalam (inward looking) dan bahkan autharkis (hanya mementingkan daerahnya sendiri). Padahal pemberian otonomi dan penataan daerah hendaknya berangkat dari kerangka negara kesatuan Indonesia.

Lebih jauh Purwo Santoso (2007) mengetengahkan bahwa ”otonomi mensyaratkan adanya Collective designing. Yang diperlukan lebih dari sekedar menggalang kesepakatan dan kesefahaman (shared vision)”, tetapi melaksanakan sebuah desain pembangunan (fisik, mental dan politik) yang mungkin tidak dapat dikembangkan dalam era sentralisasi. Desain yang melibatkan seluruh eksponen lokal, Collective designing berarti partisipasi berbagai pihak. Partisipasi tentu saja mensyaratkan kompromi bahkan mekanisme manajemen konflik lainnya. Ketidaksiapan dalam memutuskan manajemen konflik dalam perancangan penataan daerah akan berimbas pada proses dan pelaksanaan pemekaran daerah.

Pada kenyataannya, imbas dari motivasi politik yang kuat adalah rapuhnya kompromi atas collective designing sebab motivasi politik seringkali bermuara pada invested interest berbagai pihak dan kelompok. Maka adalah jamak bila kemudian pihak-pihak dan kelompok yang merasa memiliki ”investasi” dalam proses pemekaran wilayah menuntut imbalan berupa kekuasaan (bagi birokrat dan partai politik) dan Uang (bagi pengusaha). Tidak mengejutkan jika kemudian berbagai permasalahan timbul pasca pemekaran terus mengemuka. Masa dua tahun transisi tidak juga cukup bagi daerah pemekaran untuk menjalankan roda pemerintahannya dengan baik. Dari beberapa hasil penelitian teridentifikasi beberapa permasalahan yang lazim terjadi pasca pemekaran, baik pada daerah induk maupun daerah pemekaran.

Dari berbagai penelitian mengenai pemekaran wilayah, terlihat bahwa permasalahan pemekaran wilayah dibedakan atas permasalahan yang bersifat makro dan permasalahan yang bersifat mikro. Permasalahan makro adalah permasalahan yang terjadi pada proses awal pemekaran daerah dan menyebabkan permasalahan baru pada daerah induk dan daerah pemekaran saat pemekaran telah berlangsung, sedangkan permasalahan mikro adalah permasalahan yang timbul akibat tidak tuntasnya proses-proses yang terjadi pada periode pra pemekaran. Permasalahan makro diantaranya adalah:

1. Tidak adanya dukungan dan kesepakatan yang jelas antara daerah induk dan daerah pemekaran. Hal tersebut akan menciptakan beberapa permasalahan mikro seperti:

  • Sengketa aset antara daerah induk dan daerah pemekaran. Di beberapa kasus bahkan hingga lima tahun tahun setelah pemekaran, aset daerah induk belum juga diserahkan kepada daerah pemekaran seperti yang terjadi antara Kota Bau-bau dan Kabupaten Buton sebagai wilayah induk.
  • Perebutan sumber daya alam antara daerah induk dan daerah pemekaran. Tidak adanya konsensus pengelolaan daerah pasca pemekaran yang disepakati antara daerah induk dan daerah pemekaran berimplikasi melahirkan kasus-kasus; perebutan sumberdaya alam antara daerah induk dan daerah pemekaran,
  • sengketa pembagian dana perimbangan antara daerah induk dan daerah pemekaran
  • Lambannya proses-proses konsolidasi yang berlangsung di daerah pemekaran. Sebab dalam masa transisi, daerah pemekaran kurang mendapatkan dukungan dana dan asistensi daerah induk, serta kurang mendapatkan dukungan SDM dan infrastruktur dari daerah induk. Misalnya Provinsi Irian jaya Barat yang kurang diakui keberadaannya oleh Provinsi Induk, Papua dan Kabupaten Buton Utara yang pernah tidak diakui oleh Kabupaten Muna.

2. Motivasi yang menyimpang dan kepentingan politik para pihak dan kelompok dalam proses pemekaran. Melahirkan persoalan mikro seperti:

  • Sengketa penetapan pejabat bupati. Seringkali orang-orang yang direkomendasikan untuk menduduki jabatan ini oleh sebagian masyarakat dan pressure group dianggap tidak memiliki kapabilitas untuk jabatan tersebut. Permasalahan ini pernah terjadi di Kabupten Pakpak Barat dan Konawe Utara,
  • Ketidakprofesionalan daerah pemekaran dalam membentuk perangkat administrasi dan legal baru. Akibat tidak efisiennya tata organisasi dan minimnya jumlah aparatur berimbas pada kinerja aparatur yang rendah. Sistem eselonisasi, sistem rekruitmen, dan mutasi pegawai yang kacau di sejumlah daerah. Penetapan aparatur lebih dipengaruhi oleh faktor yang cenderung subyektif, sarat dengn kepentingan politik, like and dislike, isu putra daerah, dan sebagainya. Imbas dari semua ini adalah semakin jauhnya pelayanan publik.
  • Pemerintah daerah dan elit lokal gagal dalam mengelola kontroversi dan potensi konflik di tengah masyarakat yang dapat memicu konflik, baik horisontal dan vertikal. Misalnya konflik antara kelompok yang pro pemekaran dan kelompok anti pemekaran yang terjadi di Mamasa

3. Data kajian potensi daerah yang tidak jujur. Sejumlah data mengenai jumlah penduduk, luas wilayah, jumlah kecamatan, potensi ekonomi dan lain-lainnya dimark up dan disesuaikan dengan persyaratan pemekaran suatu daerah. Akibatnya terjadi persoalan-persoalan seperti:

  • Adanya daerah pemekaran yang tidak mempunyai potensi sumberdaya daerah yang bisa dikonversi menjadi sumber-sumber ekonomi baru. Tak heran bila kemudian daerah pemekaran bergantung pada daerah induk.
  • Daerah induk menjadi miskin potensi karena daerahnya terus dimekarkan sehingga potensi yang ada diberikan kepada daerah pemekaran, seperti yang terjadi di Kabupaten Konawe
  • Penentuan Ibukota baru bagi daerah pemekaran dan atau daerah induk yang peletakan ibukotanya sarat dengan muatan politis. Disebabkan faktor sosiokultural dan ekonomi masyarakatnya yang tidak mendukung serta kurangnya sarana dan prasarana sebagai syarat fisik daerah perkotaan, menyebabkan pemerintahan baru tidak hanya sibuk mengubah pola pikir masyarakat tapi juga lebih banyak melakukan pembangunan fisik, sehingga dana APBD lebih banyak terserap untuk pembangunan sarana perkantoran, pemerintahan, dan perekonomian.

Permasalah-permasalahan tersebut sebagian disebabkan oleh politik uang, politik identitas dan free reader. Kuatnya pengaruh aktor lokal dan saratnya kepentingan dibalik proses pemekaran sehingga goodwill dari aktor-aktor pemekaran untuk mengawal pemekaran hingga tuntas terkadang terhenti di tengah jalan. Padahal perjuangan memekarkan daerah tidak hanya berhenti ketika daerah berhasil dimekarkan tapi seharusnya berlanjut hingga melestarikan hasil-hasil pemekaran. Menjadikannya daerah yang mandiri dan siap bersaing dan membangun sejajar dengan daerah induk.

Persoalan Pemekaran Daerah di Sulawesi Tenggara

Pemekaran wilayah dimaksudkan untuk memaksimalkan pengelolaan potensi dan sumber daya, baik sumber daya alam, keuangan, dan manusia agar dapat meningkatkan pendapatan daerah. Serta penggunaan asset, infrastruktur sarana dan prasarana wilayah sehingga memaksimalkan pelayanan publik. Pemerintahan daerah yang otonom diharapkan mampu membuka akses ke luar dan kreatif dalam mencari sumber-sumber dana yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan, sehingga tidak hanya bergantung pada DAK dan DAU.

Namun kenyataannya, potensi, sumber daya, dan asset yang ada di daerah justru menjadi rebutan antara wilayah induk dan wilayah hasil pemekaran. Perebutan terhadap penguasaan sumber daya dan asset wilayah seringkali berpotensi konflik yang berbuntut pada tidak maksimalnya pengelolaan dan penggunaan sumber daya dan asset tersebut. Hal ini memberikan gambaran betapa buruknya penataan wilayah daerah-daerah pemekaran dan betapa tidak siapnya mengelola daerah dengan prinsip otonomi. Kasus-kasus serupa banyak terjadi di Sulawesi Tenggara.

Salah satu konflik perebutan asset yang terjadi sebagai akibat pemekaran daerah adalah perebutan asset antara Pemerintah Kabupaten Buton dan Pemerintah Kota Bau-bau. Permasalahan perebutan aset antara kedua pemerintah daerah tersebut di sebabkan oleh tidak sepakat dan sepahamnya kedua belah pihak mengenai tata cara dan tata laksana pemberian asset daerah yang ada. Dalam mencermati permasalahan asset itu, Pemerintah Kota Bau-bau menjabarkan UU No. 13 Tahun 2001 yang diimplementasikan dalam Keputusan Mendagri No. 42 Tahun 2001 tentang penyerahan barang bergerak dan tidak bergerak pada daerah yang baru terbentuk. Sementara menurut Pemerintah Kabupaten Buton masalah aset seharusnya Merujuk pada UU No. 13 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Bau-bau yang diatur dengan Surat Mendagri No. 135/ 1294/ SJ tertanggal 16 Oktober 2001, yang mengatur seluruh aspek penyelenggaraan pemerintahan.

Menurut Sjafei Kahar, Kepmen No. 42 tahun 2001 hanya dapat diberlakukan untuk Kabupaten Bombana dan Wakatobi. Sebab kedua Kabupaten hasil pemekaran dengan Kabupaten Buton itu terpisah dan baru terbentuk. Lain halnya dengan Kota Bau-bau yang ditingkatkan statusnya, lagipula Kota Bau-bau dulunya merupakan ibukota Kabupaten Buton. Sehingga aset kabupaten banyak terdapat di kota tersebut.[1]

Dalam Kepmen No. 135/ 1294/ SJ, menyebutkan bahwa seluruh fasilitas umum dan sosial, dan khususnya sarana prasarana perkotaan seperti jalan, jembatan, saluran drainase, pasar, terminal, fasilitas pendidikan, kesehatan, sarana ibadah, kebudayaan, olah raga, taman kota, rekreasi, pekuburan umum, dll. yang ada di kota yang baru terbentuk harus diserahkan. Oleh Pemerintah Kabupaten telah diserahkan pula kantor-kantor kabupaten Induk yang selama ini digunakan eks kota administrasi, seperti eks kantor walikota, Rujab walikota, kantor camat dan lurah. Ditambah dengan kantor DPRD Bau-bau sekarang, Rujab Sekda, dan Rujab Wakil Walikota. Sedangkan gedung perkantoran lainnya, Pemerintah Kabupaten Buton menginginkan tukar guling guna pembangunan sarana dan prasaran pemerintahan di Kota Kabupaten Buton yang baru, tapi hal ini tidak disetujui oleh Amirul Tamim, Walikota Bau-bau, sebab menurutnya asset pemerintah tidak boleh ditukar guling dan seluruh asset Pemerintah Kabupaten Buton yang ada di Kota Bau-bau secara otomatis harus diserahkan ke Pemerintah Kota.

Permasalahan Asset ini akhirnya memberikan implikasi yang buruk terhadap kinerja pemerintahan. Karena disibukkan masalah kepemilikan asset, pelayanan masyarakat terabaikan. Sejumlah asset Pemerintah Kabupaten Buton yang berada di Kota Bau-bau akhirnya tidak digunakan dengan maksimal bahkan beberapa diantaranya terabaikan dan tidak terawat. Dengan alasan belum tersedianya sarana dan prasarana perkantoran yang memadai, sejumlah instansi Pemerintah Kabupaten masih berkantor di Kota Bau-bau. Keinginan untuk mendekatkan pelayanan terhadap masyarakat tidak tercapai.

Pembangunan di Kota Pasarwajo Ibukota Kabupaten Buton berjalan lamban. Roda perekonomian di wilayah tesebut tidak berjalan sebagaimana Ibukota Kabupaten pada umumnya. Perekonomian masyarakat Buton umumnya masih terkonsentrasi di Kota Bau-bau. Bahkan masyarakat di beberapa kecamatan Kabupaten Buton lebih memilih ke Kota Bau-bau untuk melakukan aktifitas perekonomian seperti berdagang dan belanja. Alasannya, Kota Bau-bau lebih menjanjikan keuntungan dan banyak pilihan barang karena banyaknya fasilitas perdagangan seperti pasar, pusat pertokoan dan mall. Bahkan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, masyarakat Kabupaten Buton yang tinggal di pesisir selatan dan timur pulau tersebut lebih memilih ke Kota Bau-bau. Disamping akses ke sana lebih mudah juga sarana kesehatan lebih lengkap.

Menurut beberapa sumber yang ditemui, penempatan ibukota kabupaten di pasarwajo pada mulanya mendapatkan penolakan dari sejumlah elemen dan tokoh masyarakat. Karena pada saat itu Kecamatan Batauga juga merupakan alternatif Ibukota yang ditawarkan. Dari segi lokasi, Kecamatan Batauga lebih strategis dan mudah dijangkau dari berbagai arah, wilayahnya membentang datar, terletak di pinggir pantai dan cocok sebagai daerah pusat pemerintahan dan perdagangan.

Sementara alasan yang dikemukakan oleh pihak yang menginginkan Pasarwajo sebagai ibukota kabupaten, mengajukan pertimbangan bahwa jenis tanah di kecamatan tersebut berbatu sehingga tidak cocok dijadikan sebagai daerah pertanian dan perkebunan karenanya lebih cocok dijadikan sebagai daerah perdagangan dan pemerintahan. Disamping itu, pada saat proses pemekaran beberapa tokoh masyarakat Pasarwajo telah menjanjikan akan menghibahkan lahannya untuk keperluan pembangunan sarana umum dan perkantoran. Lagipula ada lahan dan bangunan PT Sarana Karya yang dapat digunakan sementara oleh Pemerintah Kabupaten Buton untuk berkantor. Tapi kenyataannya, sampai saat ini lahan hibah yang dijanjikan belum juga diberikan oleh masyarakat, bahkan harga tanah ’melambung’ di Kecamatan Pasarwajo

Kasus yang sama juga terjadi di Kabupaten Konawe Selatan. Saat proses pemekaran berlangsung, sejumlah tokoh pemekaran terlibat polemik seputar penentuan Ibukota Kabupaten Konawe Selatan. Saat itu terdapat tiga alternatif kecamatan yang akan menjadi ibukota kabupaten, yaitu Kecamatan Tinanggea, Kecamatan Lainea, dan Kecamatan Andolo. Dibandingkan dengan dua kecamatan lainnya, Kecamatan Andolo sangat tidak siap jika dilihat dari keadaan sosial ekonomi penduduknya, dan ketersediaan infrastruktur. Namun setelah berbagai upaya dan pertemuan tokoh masyarakat akhirnya disepakati bahwa Kecamatan Andolo ditetapkan sebagai Ibukota Kabupaten Konawe Selatan dengan alasan, justru dengan penetapan sebagai ibukota kabupaten, Andolo diharapkan dapat berkembang sejajar dengan dua kecamatan lainnya.

Menurut seorang tokoh pemekaran di wilayah tersebut, penolakan terhadap Kecamatan Lainea karena pada jaman kemerdekaan, wilayah tersebut adalah “sarang pengkhianat”. Sementara Kecamatan Tinanggea tidak disepakati karena daerah tersebut didominasi oleh warga pendatang[2]. Padahal bila dilihat dari potensi wilayah dan kesiapan sarana dan prasarana wilayah, kedua kecamatan tersebut lebih siap. Terlebih di Kecamatan Lainea terdapat lahan hibah seluas ±10 ha yang dulunya digunakan oleh PT Kapas. Lahan tersebut sedianya akan digunakan untuk areal perkantoran.

Pada awal pemekaran kabupaten, Kecamatan Andolo merupakan salah satu daerah yang minim dalam hal ketersediaan infrastruktur dan fasilitas sosial. Karena pada saat itu hanya terdapat enam buah Sekolah Dasar, dua buah sekolah menengah pertama dan satu buah sekolah menengah atas, satu unit puskesmas dan dua unit puskesmas pembantu, satu buah mesjid dan tiga buah mushallah, satu unit kantor kecamatan dan lima buah kantor kelurahan semi permanen. Sedangkan sarana dan unit pengamanan (polsek), air minum, jaringan telepon, kantor pos, hotel dan penginapan sama sekali tidak ada, jaringan listrik hanya ada di beberapa tempat. Satu-satunya jalan yang menghubungkan antara Kota Kabupaten ini dengan Kota Kendari rusak di beberapa bagian. Sementara jalan raya yang menghubungkannya dengan Kota Unaaha sebagai kota kabupaten induk, rusak parah.

Desa Potoro Kecamatan Andolo yang saat ini dijadikan sebagai pusat pemerintahan, mempunyai stuktur tanah berpasir yang labil. Akibatnya setiap musim hujan tanah jalan yang telah di aspal sepanjang empat kilometer longsor. Setiap tahun Pemerintah Kabupaten menganggarkan dana perbaikan untuk jalan raya tersebut. Ironisnya, di sekitar jalan itu telah di bangun beberapa gedung megah untuk sarana perkantoran pemerintah seperti Kantor Bupati, Kantor Sekretariat Daerah, Kantor DPRD, Kantor Samsat, Kantor Dinas Kehutanan, Kantor Dinas Kesehatan, dan Rumah Sakit Kabupaten.

Bagi sebagian kalangan yang tidak puas, penempatan ibukota kabupaten di Kecamatan Andolo tidak tepat dan sangat kental nuansa politiknya. Penetapan wilayah ibukota kabupaten membutuhkan berbagai macam mekanisme analisis dan pengujian kelayakan. Sebab selain berdasarkan pertimbangan budaya, perlu pula ditinjau dari segi sosial, ekonomi dan geografis. Sebab ketiganya menyangkut kesiapan dan kemampuan wilayah untuk menyediakan infrastruktur dan suprastruktur sebagai pusat pemerintahan, serta pusat perekonomian dan perdagangan. Di samping itu, ibukota kabupaten seharusnya berada di daerah yang mudah diakses oleh wilayah-wilayah di sekitarnya. Sehingga semangat pemekaran itu sendiri untuk mendekatkan pelayanan publik pada masyarakat dapat direalisasikan.

Hal lain yang juga menjadi permasalahan pemekaran wilayah adalah batas wilayah antara Kabupaten Induk dan Kabupaten pemekaran. Contoh kasus di Sulawesi Tenggara adalah Perseteruan Batas wilayah antara Pemerintah Kabupaten Buton dan Pemerintah Kota Bau-bau, yang menjadi konflik kedua daerah tersebut adalah batas antara Kec. Batauga Kabupaten Buton dan Kec. Betoambari Kota Bau-bau. Hal yang memicu konflik tersebut adalah perbedaan pendapat mengenai batas wilayah kedua daerah. Pemerintah kota Bau-bau mengklaim bahwa Km 14 merupakan batas antara Kecamatan Betoambari dan Kecamatan Batauga. Hal ini diperkuat dengan bukti fisik di lapangan, yaitu tugu batas sebagai tanda wilayah memasuki Kecamatan Batauga. Tugu beton sebagai batas wilayah itu di bangun pada saat Camat Batauga di pegang oleh Drs. Ismail Sara.

Berdasarkan UU No. 13 tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Bau-bau di dalamnya telah dimuat secara jelas cakupan wilayah, bahkan lampiran UU tersebut telah memuat peta wilayah yang bila diukur berdasarkan skala yang ada tepat pada posisi dimaksud. Oleh karena itu penegasan dan penetapan batas daerah antara Kabupaten Buton dan Kota Bau-bau tidak perlu di persoalkan lagi.

Dilain pihak Pemerintah Kabupaten Buton berpendapat lain. Versi Pemerintah Kabupaten Buton, batas antara Kec. Batauga dan Kec. Betoambari berada di Km.12 yang dimulai dari laut dengan nama Lambolo, Kaindalo, Melai dan seterusnya. Pendapat ini diakui oleh masyarakat kedua belah pihak khususnya di daerah perbatasan secara turun temurun sampai saat ini. Pengakuan tersebut juga didukung dengan fakta bahwa sejak dulu, Kampung Wabagere merupakan wilayah kecamatan Batauga yang berada diantara Km 12-14. Hingga saat ini perseteruan tersebut belum juga terselesaikan meskipun sudah diadakan beberapa kali pertemuan oleh kedua belah pihak, bahkan telah difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi.

Salah satu akibat dari pemekaran juga adalah kurangnya sumber daya aparatur yang memadai, akibat kurangnya asistensi dan dukungan daerah induk. Kecenderungan ini memicu daerah untuk terus menambah jumlah personilnya dengan alasan agar dapat memberikan pelayanan yang maksimal pada publik. Tapi langkah ini tidak diiringi dengan penelitian mengenai kebutuhan dan kemampuan daerah. Sehingga di beberapa daerah kekurangan guru, seperti di Kabupaten Kolaka Utara dan Kabupaten Bombana tapi kabupaten Muna justru kelebihan guru. Di Bombana bahkan ada SD yang hanya memiliki dua orang guru. Sementara di Muna terdapat sekolah yang hanya memiliki beberapa orang siswa dengan jumlah guru yang cukup banyak, bahkan beberapa sekolah mengaku susah untuk mendapatkan siswa. Umumnya di Sulawesi Tenggara kekurangan guru SD. Dari jumlah guru yang ada, setiap sekolah rata-rata hanya memiliki 8 orang guru. Sedangkan guru TK masih harus di tambah karena jumlahnya 1.479 orang dan harus mengajar 19 ribu lebih sisiwa TK. Hal yang sama juga terjadi untuk SMP dan SMA. Bahkan salah satu SMP di Kabupaten Konawe, ada guru Geografi yang juga mengajar Bahasa Inggris. Di Konawe Selatan ada guru Kimia yang harus mengajarkan Matematika karena SMA tempatnya mengajar kekurangan guru Matematika.

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga pengajar dan tenaga kesehatan yang kurang maka dalam penerimaan pegawai daerah setiap tahunnya, pemerintah kabupaten/kota memprioritaskan pengangkatan guru dan tenaga kesehatan.

Menurut staf Setda Kabupaen Konawe, Kabupaten Konawe memiliki jumlah aparat terbanyak. Setiap tahunnya jatah pegawai sangat banyak namun proporsi keuangan untuk itu sngat terbatas. Ini juga merupakan implikasi dari pemekaran kecamatan, banyak pos-pos dan posisi di pemerintahan yang harus ”diisi”.

Fenomena ini tidak saja terjadi di kabupaten Konawe tapi hampir di semua Kabupaten di Sulawesi Tenggara. Di Konawe Selatan misalnya, pada penerimaan pegawai tahun lalu terdapat 15 orang tenaga honorer yang dinyatakan lulus tapi SK pengangkatannya sebagai CPNS tidak diterbitkan. Justru terbit SK atas nama orang lain sebanyak 15 orang dan setelah ditelusuri oleh beberapa LSM lokal, beberapa orang diantaranya anak oknum pejabat dan anggota DPRD. Menariknya, Penerimaan pegawai juga, terkadang menjadi ’ajang transaksi’ bagi orang-orang yang merasa berjasa pada pemilihan kepala daerah. Juga deal politik antara oknum birokrasi dan anggota DPRD. Pola-pola penerimaan pegawai negeri sipil seperti ini, tentu saja tidak sesuai dengan PP No. 48 tahun 2005 yang mengatur pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS. Terlebih lagi kebijakan pemerintah ini ditujukan untuk mengangkat semua pegawai honorer daerah hingga tahun 2009.[3]

Bagi sebagian kalangan, kecurangan-kecurangan yang terjadi dalam proses penerimaan PNS, disebabkan oleh kebijakan penerimaan pegawai tidak lagi ditangani pemerintah pusat tapi telah dilimpahkan ke pemerintah daerah sehingga mudah melakukan penggantian nama calon pegawai, praktek kolusi, korupsi dan nepotisme dan sebagainya.

Tuntutan untuk mengisi jabatan atau posisi yang kosong di instansi-instansi pemerintah beberapa kabupaten pemekaran, menyebabkan penempatan personal kepegawaian yang tidak memenuhi syarat jenjang kepangkatan. Misalnya yang terjadi di Kota Bau-bau, salah satu dinas dikepalai oleh pegawai dengan golongan III d. Di Bombana, seorang kepala seksi di jabat oleh pegawai golongan III a yang ± baru setahun menjadi PNS dan masih banyak lagi contoh kasus yang lain.

Dalam rangka mengisi jabatan-jabatan tertentu di instansi pemerintahan, terkadang orang-orang yang dipercaya untuk menjabat tidak sesuai dengan bidang yang ditekuni. Hal ini tidak sesuai dengan ungkapan the right man in the right place. Akibatnya pelayanan masyarakat yang ingin ditingkatkan tidak tercapai. Salah satu contoh adalah di Kabupaten Konawe, seorang guru yang di non job- kan karena mempunyai kasus di sekolah tempat ia mengajar sebelumnya, tiba-tiba menjadi salah satu Kepala Bidang di Dinas Sosial. Seorang guru di Kota Bau-bau juga menjabat sebagai salah satu kepala bidang di Bappeda Kota Bau-bau.

Sistim mutasi pegawai juga kadang-kadang tidak melalui mekanisme peraturan yang ada. Menurut salah seorang staf BKD Kabupaten Konawe Selatan, sistim mutasi di daerah tersebut seperti tidak mempunyai aturan. Hal ini terkait tingginya frekuensi mutasi pejabat dan pegawai. Misalnya saja, Dinas Kehutanan Kabupaten Konawe Selatan, tercatat setahun lalu mengalami 3 kali pergantian kepala dinas. Lalu, ada sekitar 7 kali mutasi pejabat eselon 2 di Konawe Selatan yang dilakukan secara bertahap. Mutasi eselon 3 hampir 10 kali, belum lagi mutasi pegawai-pegawai non eselon bahkan pegawai honorer juga bebeerapa kali dikenai mutasi. Kadang-kadang mutasi pejabat didasari oleh perasaan suka-tidak suka.”[4]

Hal menarik terkait dengan pemekaran daerah adalah banyaknya jabatan yang harus diisi di daerah pemekaran. Sementara daerah pemekaran terkadang tidak mempunyai aparat yang memenuhi persyaratan untuk jabatan tersebut. keadaan ini dimanfaatkan oleh pegawai-pegawai dengan pangkat tinggi, masa jabatan yang tidak lama lagi tapi non job di Propinsi dan kabupaten untuk memperpanjang masa kerjanya dengan pindah ke daerah-daerah hasil pemekaran dan menduduki jabatan-jabatan srtategis.

Pemekaran memberi ruang yang lebih besar bagi pencari jabatan, sehingga tak heran bila calon Bupati yang gagal bersaing di arena pilkada Kabupaten Konawe, kembali ikut berlaga di pilkada Kabupaten Konawe Selatan atau Kota Kendari.

Dampak yang besar dirasakan daerah dengan adanya otonomi daerah dan pemekaran wilayah adalah melimpahnya dana dari pusat yang mengalir ke daerah. Implikasi dari hal tersebut adalah, di satu sisi pembangunan di daerah sangat pesat, namun di sisi lain korupsi menjamur. Jika dulu pejabat masih malu-malu untuk korupsi, saat ini mereka ‘pamer’ korupsi ramai-ramai. Misalnya kasus korupsi DPRD Kota Kendari, kasus korupsi DPRD Kabupaten Konawe, dan kasus korupsi DPRD Sulawesi Tenggara, yang semuanya terkait kasus penyelewengan anggaran belanja DPRD[5]. Tapi semua kasus korupsi ini belum selesai penanganannya. Bahkan ada indikasi penangan korupsi di daerah berjalan lamban.

Sementara itu, dari temuan BPK dan laporan LBH Bau-bau terdapat 20 kasus korupsi yang terjadi di Kota Bau-bau dan telah dilaporkan ke pengadilan. Kasus-kasus korupsi tersebut antara lain kasus korupsi pembangunan kantor bupati, kasus korupsi pembangunan jalan hotmix, proses tender proyek yang tidak transparan, kasus pembelian lahan PLTU di Bungi yang bermasalah pada pembebasan lahan.

Bupati Kabupaten Konawe pun pernah terkait masalah penyalahgunaan anggaran tapi di tingkat MA dibebaskan. Beberapa kalangan menilai, banyaknya penyelewengan anggaran di daerah karena ketidakmampuan aparat di daerah dalam mengelola keuangan dengan baik dan mudahnya pengambilan keputusan mengenai penggunaan anggaran.

Mantan Kepala Biro Pemerintahan Provinsi menilai bahwa banyaknya dana yang mengalir di daerah memberatkan pusat, tapi dengan sebuah pembenaran beliau menyatakan.....

”Dengan pemekaran, aliran dana dari pemerintah pusat ke daerah menjadi lebih fokus. Pembangunan juga lebih terarah. Dananya tentu saja dari APBN, APBD, yang juga uang Negara. Meskipun pusat melihat itu sebagai beban. Tapi kalau dananya tidak ke sana, itu akan di alihkan ke sektor-sektor. Kalau dananya ke sektor-sektor lain akan banyak keran yang harus dilalui. Dan kalau pipanya tidak bagus, banyak bocor dimana –mana tapi kalau pipanya bagus airnya meluap. Tapi kalau langsung ke DAU atau DAK kan dananya langsung ke Pemda”[6].

Pada tahun 2005, dari Rp. 117.193.204.000 APBD Kabupaten Konawe Selatan, hanya RP.19.609.795.000 yang digunakan untuk pelayanan publik. Selebihnya untuk biaya Aparatur Daerah. Padahal dari APBD Konawe Selatan tersebut, 113 Milyar rupiah lebih merupakan DAU, 13 Milyar DAK, selebihnya bagi hasil dan PAD. PAD Konawe Selatan hanya 3,55% dari keseluruhan dana APBD nya. Sementara itu, APBD Kabupaten Konawe pada tahun 2004 sebesar Rp. 243.906.050.000. Dialoksikan untuk aparatur daerah sebesar, Rp. 200.943.605.000, sisanya digunakan untuk pelayanan publik. Tingginya biaya aparatur daerah ditengarai banyaknya anggaran yang digunakan untuk perjalanan dinas, studi banding dan pembelian kendaraan dinas.[7]

Tidak dapat dipungkiri bahwa dari segi keuangan, banyak daerah pemekaran belum dapat membiayai dirinya sendiri dan masih sangat bergantung pada pusat. Bahkan daerah induk pun tak lepas dari dilema yang sama. Di satu sisi, banyak pos-pos yang membutuhkan dana guna pembiayaan pembangunan sarana fisik dan non fisik tapi di sisi lain ada daerah-daerah yang belum mampu membiayai pembangunannya bahkan untuk menggaji aparatnya sendiri sehingga berharap banyak dari dana sharing pemerintah pusat, DAK, dan DAU. Kenyataan ini tentu saja memberatkan pemerintah pusat. Karena itu perlu ada regulasi yang ketat mengatur tentang persyaratan kemampuan wilayah dalam hal keuangan daerah. Paling tidak, PAD suatu daerah setara dengan gaji aparatnya.

Otonomi daerah seringkali dipahami secara parsial oleh sebagian elit politik di daerah. Otonomi bagi mereka adalah independen dari campur tangan pusat mengenai pengelolaan sumber daya dan keuangan serta kelembagaan. Tapi kerja setiap lembaga di daerah tidak pernah lepas dari campur tangan dari lembaga-lembaga otonom itu sendiri. Eksekutif yang diintervensi legislatif atau sebaliknya, KPUD yang diintervensi oleh legislatif dan lain-lain. Akibatnya adalah konflik antar elite. Seperti yang terjadi di Konawe Selatan, hubungan eksekutif dan legislatif yang tidak harmonis. Pemerintah Kabupaten menilai DPRD seringkali mencari-cari kesalahan pemerintah kabupaten. Atau DPRD Sulawesi Tenggara yang menilai plt. gubernur terlalu arogan.

Salah satu konflik yang sering terjadi pasca otonomi daerah adalah perseteruan antara kepala daerah dan wakilnya. Kasus ini terjadi di Kabupaten Konawe antara Bupati dan wakil Bupati. Permasalahannya adalah pembagian tugas dan wewenang. Hal yang sama juga terjadi di Kota Bau-bau antara Walikota dan Wakil Walikota. Kejadian serupa pernah terjadi di Kabupaten Konawe Selatan antara Bupati dan Wakil Bupati. Konflik ini adalah salah satu akibat dari tidak jelasnya pembagian wewenang antara kepala daerah dan wakilnya. Perlu sebuah regulasi, misalnya peraturan pemerintah yang secara spesifik mengatur tentang hal ini. Perseteruan antara dua pimpinan daerah bisa berakibat fatal. Seperti yang selama ini terjadi, konflik tersebut melahirkan friksi di antara pegawai yang melahirkan pertentangan dan keberpihakan terhadap salah satunya. Situasi ini akan membuat suasana kerja pemerintahan tidak kondusif. Sebab masing-masing dari mereka memiliki pendukung. Akhirnya yang terjadi saling curiga, saling mencaci dan kinerja pemerintahan menurun, akibatnya keinginan untuk mendekatkan pelayanan masyarakat tidak tercapai.

Permasalahan yang mengemuka pasca pemekaran menunjukkan kegagalan dalam mengelola daerah pemekaran pada masa-masa awal terbentuknya. Oleh sebab itu diperlukan sebuah mekanisme terpola yang dapat mengatur hal tersebut.

Menurut Pratikno dan Hanif (Cornelius dan Purwo, 2006), berbagai kajian tentang proses transisi pengelolaan daerah pemekaran selama ini hanya membidik sisi administrasi semata dan tidak banyak membidik urgensi manajemen transisi. Kalaupun muncul, manajemen transisi terjebak dalam wacana peran daerah dan aktor lokal sebagai variabel penentu keberhasilan dan kegagalan proses transisi pengelolaan daerah pemekaran. Lebih parah lagi, dari pengamatan penulis, seringkali masyarakat disalahkan sebagai tidak siap menerima otonomi daerah, padahal peran daerah induk, daerah provinsi sebagai daerah atasan dan peran pemerintah pusat dalam mengawal daerah pemekaran sangat penting. Ibarat baru belajar berjalan, daerah pemekaran tidak boleh di lepas begitu saja.

Mendesain Pemekaran Daerah, Merencanakan Manajemen Transisi

Pemekaran tidak semata-mata bersifat actor based, tantangan terbesar dalam pemekaran daerah bukan hanya memperjuangkan aspirasi tetapi menghadapi persoalan-persoalan yang dalam konsepsi March dan Olsen (1989) disebut environmentally constrained. Persoalan-persoalan yang muncul karena adanya transformasi kelembagaan yang merupakan bagian dari proses penataan daerah. Persoalan ini menurut Purwo Santoso (2007) hanya dapat terpecahkan dengan adanya kapasitas belajar (learning capacity) dari institusi yang ada.

Menyikapi hal tersebut, Pratikno dan Hanif (Cornelius dan Purwo, 2006) menawarkan konsep Manajemen Transisi untuk meminimalisir persoalan-persoalan tersebut. Perencanaan manajemen transisi sudah harus dirancang pada saat proses dialog pemekaran berlangsung secara instens. Hasilnya bukanlah sebuah konsensus tapi kesepakatan tertulis yang disepakati tidak saja oleh aktor dari daerah bakal pemekaran tapi juga oleh daerah induk dan propinsi, jika pemekaran tersebut terjadi di tingkat kabupaten. Hal ini penting, sebab pada dasarnya, manajemen transisi adalah sebuah desain manajemen untuk menjamin daerah baru hasil pemekaran mampu mempercepat proses kesiapannya menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan daerah otonom.

Pratikno dan Hanif (Cornelius dan Purwo, 2006) menekankan beberapa permasalahan yang perlu mendapatkan penekanan dalam manajemen transisi adalah bidang pemerintahan, ekonomi, pelayanan publik, dan sosial politik.

Sumberdaya aparatur yang terbatas, baik dari jumlah, kualifikasi administrasi, serta kualifikasi teknis dan substantif. Sumberdaya fiskal yang juga sangat terbatas. Minimnya infrastruktur fisik pendukung proses pemerintahan. Pengalaman lembaga dalam menjalankan fungsi pemerintahan yang belum teruji, bahkan belum adanya kebijakan yang akan dikembangkan.

Institusi Ekonomi seperti pelaku produksi, distribusi dan keuangan yang sangat terbatas. Serta infrastruktur pemdukung pembangunan ekonomi yang sangat minim. Infrastruktur fisik pelayanan yang kurang serta kuantitas dan kualitas aparatur yang juga sangat terbatas.

Konsesi terhadap sumberdaya antara daerah baru hasil pemekaran dan daerah induk. Melembagakan posisi-posisi politik dan birokratik dalam pemerintahan untuk menghindarkan perebutan posisi antar kelompok-kelompok masyarakat. Serta Menata manajemen konflik guna meminimalisir konflik yang mungkin terjadi pasca pemekaran.

Desain manajemen transisi yang dirancang sebaiknya mencakup hal-hal di atas. Desain manajemen transisi ini, diperlukan untuk membantu daerah baru hasil pemekaran untuk memecahkan permasalahan kompleks yang dihadapinya di tengah kemampuan dan pengalamannya yang sangat terbatas sebagai unit pemerintahan otonom baru. Kesenjangan antara permasalahan sekaligus kebutuhan dengan kemampuan inilah yang harus dijembatani agar di tahun-tahun awal pembentukan sebuah daerah otonom hasil pemekaran bisa efektif mengembangkan diri dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan dan pelayanan dengan baik.

Pada dasarnya kebijakan manajemen transisi mengacu pada beberapa prinsip, yaitu:

§ Pemerintah daerah induk, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah pusat, wajib memberikan dukungan pada saat masa transisi, disertai mekanisme monitoring dan evaluasi.

§ Mengarahkan kebijakan pada pemenuhan kebutuhan mendesak daerah pemekaran dan sekaligus di arahkan pada keberlanjutan fungsi pemerintahan.

§ Memberdayakan potensi daerah pemekaran dengan maksimal, baik potensi yang ada di pemerintah maupun masyarakat.

§ Memberdayakan kultur dan institusi-institusi utama di daerah, seperti agama, adat dan institusi lokal lainnya dalam menjalankan fungsi kepemerintahan.

§ Menghindarkan pemerintah daerah otonom baru dari benturan dengan budaya dan nilai-nilai sosial dalam masyarakat.

§ Memberikan kesempatan kepada kelompok-kelompok masyarakat agar mendapatkan akses kepada pemerintahan daerah otonom baru.

§ Membantu daerah pemekaran agar tetap menjunjung otonomi dan demokrasi di daerah.

Sangat penting memasukkan substansi manajemen transisi dalam Undang-Undang pemekaran atau pembentukan daerah otonomi daerah baru. Utamanya yang menekankan komitmen para pihak (pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah induk) untuk mendukung percepatan peningkatan kapasitas daerah baru hasil pemekaran.

Meskipun ada pasal yang memungkin bagi sebuah daerah atau daerah hasil pemekaran untuk melakukan penggabungan (amalgation), toh tidak ada regulasi yang jelas mengatur tentang hal tersebut. Lagipula tentu saja proses amalgation akan jauh lebih rumit. Karenanya untuk menghindari hal tersebut memaksimalkan pelestarian daerah hasil pemekaran merupakan tanggung jawab semua pihak. Dan manajemen transisi adalah solusi menarik untuk diaplikasikan.

DAFTAR PUSTAKA

· Cornelius Lay dan Purwo Santoso (ed.), 2006. ” Perjuangan Menuju Puncak: Kajian Akademik Rencana Pembentukan Kabupaten Puncak, Pemekaran Kabupaten Puncak jaya Propinsi Papua”. Yogyakarta: Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM

· Karim, Abdul Gaffar (ed.), 2003. ”Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia”. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Pemerintahan Fisip UGM

· March, james G. dan Johan P. Olsen, 1989. ”Rediscovering Institutions: The Organizational Basic of Politics”. New York: The Free Press

· Nick T. Wiratmoko, Pradjarta Dirdjosanjoto, dan Kutut Suwondo, 2004. ”Yang Pusat dan Yang Lokal : Antara Dominasi, Resistensi, dan Akomodasi Politik di Tingkat Lokal”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Pustaka Percik

· Ning Retnaningsih, I Made Samiana, Halomoan Pulungan, dan Widya P. Setyanto. 2007. ” Ruang untuk Memperjuangkan Kepentingan Politik: Dinamika Politik Lokal di Indonesia”. Salatiga: Pustaka Percik dan The Ford Foundation

LITERATUR LAINNYA

Makalah

· Aloysius Gunadi Brata, 2007. ”Konsolidasi Daerah dan Pelayanan Publik”. Seminar Internasional VIII Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Penataan Daerah (Territorial Reform) dan Dinamikanya. Percik dan Salatiga: 17-19 Juli 2000 The Ford Foundation

· Jumrana, 2007. ”Meninjau Pemekaran Wilayah di Sulawesi Tenggara”. Seminar Internasional VIII Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Penataan Daerah (Territorial Reform) dan Dinamikanya. Percik dan Salatiga: 17-19 Juli 2000 The Ford Foundation

· Purwo Santoso, 2007 ”Merajut Indonesia dalam Sinergi Kedaerahan”. Seminar Internasional VIII Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Penataan Daerah (Territorial Reform) dan Dinamikanya. Percik dan Salatiga: 17-19 Juli 2000 The Ford Foundation

· Riwanto Tirtosudarmo, 2007 ”Pemekaran sebagai Arena Perebutan dan Pembagian Kekuasaan: Kritik terhadap Dominasi ”Public Administration School” dalam Kebijakan Desentrlisasi di Indonesia. ” Seminar Internasional VIII Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Penataan Daerah (Territorial Reform) dan Dinamikanya. Percik dan Salatiga: 17-19 Juli 2000 The Ford Foundation

Artikel

· Kendari Pos. “Masalah Aset hanya bisa Selesai dengan Duduk Bersama” 1 April 2006

· Kompas. Akal-akalan Pemekaran”, Sebuah Opini, Pepih Nugraha. 10 Mei 2007

· Jurnal Hukum dan HAM SIDIK .“ Kasus Korupsi DPRD Sulawesi Tenggara”, Problematika Pengelolaan APBD, Edisi Khusus Juni 2006

· Kendari Pos. ”Manajemen Transisi Menuju Pengelolaan dan Penataan Daerah Pasca Pemekaran”. Sebuah Opini, Jumrana. 27 Agustus 2007



[1] Disarikan dari Wawancara Sjafei Kahar, Bupati Kabupaten Buton, Kendari Pos, 1 April 2006, “Masalah Aset Hanya Bisa Selesai dengan Duduk Bersama”

[2] Wawancara tanggal 20 Mei 2007

[3] Pengumuman pengangkatan PNS untuk T.A. 2006 telah disampaikan pada tanggal 9 Juni 2007 lalu untuk semua Kabupaten/ kota dan Provinsi Sulawesi Tenggara. Semua yang terangkat adalah pegawai honor daerah yang diurut berdasarkan lamanya pengabdian. Hal ini disambut antusias oleh berbagai kalangan. Pengangkatan ini langsung dari Badan Kepegawaian Nasional sehingga tidak ada campur tangan pemerintah daerah dalam hal penentuan pengangkatan. Selama otonomi daerah di berlakukan di Sulawesi Tenggara, baru kali ini pengangkatan pegawai tidak diwarnai kericuhan.

[4] Wawancara 23 Mei 2007

[5]Kasus Korupsi DPRD Sulawesi Tenggara”, Problematika Pengelolaan APBD, SIDIK, Jurnal Hukum dan HAM, Edisi Khusus Juni 2006

[6] Wawancara 28 Maret 2007

[7] Wawancara 23 Maret 2007