Kamis, 27 November 2008

Bush dan Kekuasaan

Impeachment Bush”, ”America is not terrorist but Bush made it”, “Bush = Napoleon and Hitler”, begitu bunyi sebagian poster yang dibawah para pengunjuk rasa. Hari-hari terakhir ini gelombang demonstrasi melanda Amerika Serikat. Protes, kecaman dan tuntutan agar Bush segera lengser dari kursinya menggema dipelosok negeri. Mereka tak lagi sabar menanti Bush meletakkan jabatannya, setelah banyak kebijakannya dinilai merugikan negara tidak saja di dalam negeri tapi juga turunnya pamor Amerika di luar negeri.

Bush, mungkin layaknya sebagian pemimpin yang kurang menyadari bahwa kekuasannya tidaklah tak terbatas dan telah lupa bahwa kekuasaan adalah fatamorgana yang memabukkan. Bush selalu mengira bahwa rakyat Amerika akan senantiasa mendukungnya, ia selalu menganggap bahwa rakyat adalah paduan suara yang siap mem-back up setiap kebijakannya.

Bush mungkin lagi-lagi lupa bahwa Nopember tahun lalu ratusan ribu rakyat Amerika turun ke jalan-jalan mengecam keputusannya untuk menginvasi Irak. Dan kini ia akan melakukan kesalahan yang sama, menggunakan isu yang sama untuk menekan Iran dan juga Korea Utara. Ia rupanya tak pernah bisa belajar dari kesalahan.

Setidaknya ada dua alasan yang menyebabkan Bush menginvasi Irak dan memporakporandakan negeri seribu satu malam itu. Pertama, karena dendam atas kegagalan pasukan AS dalam perang teluk yang diprakarsai oleh ayahnya, Bush senior. Kedua, konsesi penuh atas minyak di Irak. Irak adalah salah satu negara yang memiliki cadangan minyak terbesar di dunia. So, isu nuklir hanyalah cerita isapan jempol Bush semata. Dan Irak adalah kesalahan, karena membuat teroris semakin subur dan Amerika kehilangan muka dipercaturan politik dunia.

Masih terngiang pidato Bush, pasca peledakan WTC di New York. Ia menghimbau seluruh dunia untuk bersatu di belakangnya memerangi teroris, dan menentang setiap negara yang tidak setuju dengannya. Dan sejak itu Bush dan anteknya menjadi monster yang meraung memuntahkan kebencian pada teroris. Tapi siapa sesungguhnya teroris? Siapa sesungguhnya yang ingin diperangi oleh Bush?

Dengan sepak terjangnya menangani kepentingan Amerika di luar negeri, serta ambisinya untuk menjadi polisi dunia dengan dalih untuk menegakkan demokrasi, Bush justru telah menyebarkan benih-benih kebencian. Dimana keadilan berpijak jika Amerika masih saja menerapkan standar ganda terhadap negara-negara targetnya? ”Kami mungkin telah gagal menerapkan demokrasi di Afganistan”, Donald Rumsfeld akhirnya mengaku dengan malu-malu.

Tapi seharusnya Bush sudah tahu itu, demokrasi bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Ia bukanlah harga mati bagi sebuah kemapanan dan tatanan yang ajeg. Demokrasi konon hanya bisa ada bila semua orang sepakat akan keberadaannya dan karena itu ia cenderung utopis dan di awang-awang. Hingga hari ini tak seorang pun yang dapat menunjukkan satu negara pun yang bisa melaksanakan demokrasi yang ideal, tidak juga oleh Amerikanya Bush. Bahkan Amerika pun tak pernah tahu apa itu demokrasi karena ”di negara besar ini kaumku diperlakukan sebagai warga negara kelas dua, yang makan dan minum dari sisa-sisa kulit putih”keluh Malcolm X dalam Biografinya yang diterbitkan tahun 1965. Dan keadaan itu masih berlangsung hingga kini, setidaknya bagi masyarakat indian, penduduk asli negara tersebut.

Demokrasi seringkali hadir dan menjelma ditengah-tengah rakyat dengan bentuknya yang lain dan bergolak menyatu dengan nafas kebersamaan atas nama kebebasan. Demokrasi adalah sesuatu yang universal tapi ia seharusnya tunduk pada nilai-nilai dan kearifan lokal karena itu demokrasi tak selalu dimaknai sama, ia selalu punya bentuk yang lain dengan warna yang berbeda. Tapi yang diciptakan oleh Bush dan tentaranya di Afganistan, Irak, Somalia, Uganda dan lain-lain adalah neraka dan kesengsaraan. Maka ia diminta untuk meletakkan kekuasaan.

Tapi Bush masih jumawa, menegakkan kepala dan berseru bahwa yang dilakukannya adalah untuk Amerika. Dan masih seperti tahun lalu, ia yakin takkan tergoyahkan. Kekuasaan, bisa membuat tuli juga buta. Yang ingin didengar hanya hal yang menyenangkan, yang ingin dilihat hanyalah sesuatu yang memesonakan tapi kekuasaan bukan melulu mengenai kebahagiaan dan keindahan. Kekuasaan bisa menjadi racun bagi hati yang lemah. ”Jika berada di atas kita tak dapat melihat ke bawah, terlalu lama di atas membuat kita tidak peka dan tak terjangkau karena itu kita tak dapat mendengar” kalimat arif itu diucapkan oleh Sudomo, seorang mantan Pangab di era Suharto. Tapi tentu saja, tak setiap orang mampu belajar dari pengalaman dan tak setiap orang bisa memahami keadaan. Dan Nixon, pendahulu Bush sangat paham hal itu.

15 Oktober 2006

Tidak ada komentar: