Kamis, 27 November 2008

Paranoia Amerika

“…Aku bangga dapat memimpin sebuah pasukan yang kuat dari sebuah negara besar di masa depan....tentara Amerika telah menyulut perang dimana-mana, dan kita pantang menyerah untuk itu.....” pidato Jenderal Patton sesaat sebelum ke Tunisia memimpin pasukannya untuk bergabung dengan sekutu melawan Nazi Jerman.

George Patton, sang pahlawan Amerika, diperankan oleh George C. Scott dalam film yang berjudul ”Patton” adalah tipikal petinggi militer Amerika Serikat hari ini. Ia menjadi inspirasi tentang daya juang, nasionalisme sekaligus narsisme bagi bangsa yang kini resah karena paranoid terhadap terorisme.

Mencermati Patton, mengingatkan pada dua pemimpin Amerika Serikat, Ronald Reagan dan George Bush. Keduanya sama-sama terobsesi pada Arab, membenci negara Arab garis keras dengan alasan yang sama-tidak bisa mendapatkan konsesi penuh atas minyak di negara-negara tersebut, membuat terorisme tumbuh subur karena ketidakadilannya dalam menangani konflik Arab-Israel, dan yang penting keduanya berasal dari partai yang sama, partai republik- kumpulan orang-orang yang merasa lebih patriotik dan nasionalis dibanding teman-temannya dari partai demokrat.

Menonton ”Patton”, mengingatkan akan bahayanya kebencian yang tak tertahankan, tidak saja diri sendiri tapi juga orang lain. Kebencian Amerika pada teroris adalah kebencian yang berurat-berakar dan tanpa proteksi, sehingga lambat laun menghancurkan reputasi Amerika di kancah internasional. Ironisnya, kebencian ini juga menggerogoti Amerika dari dalam. Bahkan kebencian ini telah mengorbankan warganya sendiri yang seharusnya mendapatkan penghargaan atas pengabdian dan kesetiaannya pada negara.

”Aku adalah orang yang patriotik dan warga negara Amerika” tulis James Yee dalam For God and Country. ”Aku bukanlah seorang teroris dan juga bukan seorang mata-mata”. Namun Amerika memenjarakannya sebagai teroris di Charleston Carolina Selatan pada September 2003. Yee, seorang prajurit berpangkat kapten, lulusan West Point (Akademi militer ternama di AS) yang kemudian ditugaskan sebagai ulama militer bagi tentara dan tahanan di Guantanamo, tempat semua tahanan teroris disekap.

Yee telah menjadi korban paranoid negaranya pasca peledakan WTC di New York, 5 tahun lalu. Ia tidak sendiri, ada banyak tentara koleganya mengalami hal yang sama hanya karena keyakinan mereka sama dengan yang dianut orang-orang yang selama ini diyakini oleh Amerika sebagai teroris. Inilah sisi gelap perang terhadap terorisme yang berlebihan dan tanpa aturan yang dilakukan Amerika. Menebar bahaya dimana-mana dan memperlakukan patriot-patriotnya bak sepasukan musuh.

Yee dan beberapa lainnya kemudian dilepaskan karena tak cukup bukti keterlibatan mereka dengan teroris. Tanpa perbaikan nama baik, tanpa permintaan maaf dari negara bahkan dari institusi dimana selama ini ia mengabdi, meskipun ”hal itu tidak akan mengembalikan kebahagiaan yang hilang selama tujuh puluh hari aku berada di penjara,....tidak bisa membantu anak perempuanku untuk mengerti bahwa saat itu ’aku sedang bekerja’......tidak akan mengembalikan perkawinanku seperti semula.....dan tidak akan mengembalikan karierku sebagai seorang ulama muslim di kemiliteran-sebuah kerja yang mampu memenuhi semua mimpiku untuk mengabdi kepada Tuhan dan negara” ungkap Yee

Padahal permintaan maaf pihak militer justru bisa membantu mengembalikan kepercayaan publik terhadap militer AS sebagai institusi yang membela dan mendorong nilai-nilai keadilan, persamaan, toleransi, dan perbedaan yang dijunjung oleh Amerika. Prinsip-prinsip yang selama ini dipercaya sebagai prinsip universal yang dijunjung tinggi oleh bangsa tersebut.

Kenyataan di penjara Abu Ghraib Afganistan dan Guantanamo Kuba, telah mencabut akar kemanusiaan yang selama ini didengungkan oleh Amerika dan seakan keyakinan mereka menjadi sebuah keniscayaan. Terorisme telah menjadi hantu menakutkan yang mampu menarik kerasionalan dari pikiran. Militer Amerika menjadi tak terkendali dan menghantam siapa saja yang dianggap teroris.

”Perbedaan antara anda dan saya adalah, saya berperang karena dilatih untuk itu sedangkan anda melakukan perang karena menyukainya” kecam Jenderal Bradley pada Jenderal Patton sesaat sebelum Patton memerintahkan pasukannya mengubah sasarannya ke Pallermo menuju Messina yang menyebabkan sebagian besar anak buahnya tewas di bantai Erwin Rommel, pimpinan pasukan Nazi di Afrika dan Eropa.

Andai saja pemimpin Amerika saat ini sebijak Bradley, mungkin Amerika tidak sesakit sekarang. Oh, poor America.........

Tidak ada komentar: