Kamis, 27 November 2008

Demonstrasi, Chaos, dan Kepedulian Pememrintah

Pemimpin yang baik , kata orang bijak adalah pemimpin yang tidak hanya menggunakan telinganya untuk mendengar suara rakyatnya tapi juga dengan nuraninya, tidak hanya melihat dengan matanya semata tapi juga matabatinnya. Namun, agaknya banyak pemimpin telah kehilangan telinga bahkan matanya. Akibatnya ia tak hanya kehilangan keduanya tapi juga kehilangan muka.

Beberapa waktu yang lalu, di Kendari kita menyaksikan sebuah gelombang kekerasan sosial berantai, sesuatu yang tak biasa untuk kota sekecil ini. Bermula dari kebijakan Pemkot dalam menggusur PKL yang mendapat tentangan dari sejumlah LSM, setelah berkali-kali mencoba melakukan dialog dengan DPRD dan Walikota gagal, LSM dan mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besaran. Dilain pihak sekelompok massa yang mendukung kebijakan Pemkot melakukan aksi tandingan. Buntutnya adalah chaos. Menyampaikan pendapat, dukungan, saran, dan kritik adalah hal yang biasa dalam demokrasi tapi ini tentu ada etikanya. Meskipun disadari emosi massa adalah absurd sesuatu yang terpetakan dari sikap militan.

Tahun 1971 sebuah seminar mengenai democracy and pressure group diadakan di Zurich, Swiss. Salah satu kesimpulan akhirnya berbunyi: pressure group adalah kelompok yang diorganisasi dengan tujuan memperjuangkan kepentingan umum, kepentingan materiil ataupun ideology, sepanjang dia memakai cara-cara yang tidak melanggar hukum untuk membuat penguasa mengenal kepentingan mereka dan memberikan tempat pada kepentingan tersebut dengan mengubah keadaan yang tadinya dianggap kurang menyenangkan. Pressure group dapat berupa organisasi buruh, kelompok agama, LSM dan lain-lain.

Arif Budiman (1972) mengidentifikasi pers dan gerakan mahasiswa sebagai pressure group karena menurutnya pressure group adalah segala macam kelompok , baik yang terorganisir secara formal maupun tidak , yang memperjuangkan kepentingan umum dan mempunyai pengaruh di dalam masyarakat.

Gerakan mahasiswa berdiri atas prinsip-prinsip moral, ilmiah, tanpa vested interest materiil maupun kekuasaan. Dalam menjalankan aktivitasnya prinsip-prinsip tersebut senantiasa harus dipegang. Karena pada dasarnya, kesetiaan pada-prinsip-prinsip inilah yang membuatnya besar. Tapi yang terjadi belakangan ini adalah pembalikan atas prinsip-prinsip tersebut, ketika mahasiswa Unhalu mencoreng arang di wajah almamaternya. Kita wajib membuat sejarah sebagai manifestasi dari pengakuan atas eksisitensi individual atau kelompok tapi sejarah hitam bukan sesuatu yang patut untuk dikenang.

Penolakan atas tuntutan, tak harus membuat gelap mata, tindakan anarki tidak dapat menyelesaikan masalah. Yang muncul kemudian justru sikap antipati masyarakat. Padahal selama ini merekalah yang dijadikan” atas nama” perjuangan. Tak terpikirkan berapa banyak orang yang justru dirugikan oleh instabilitas yang diakibatkan oleh demonstrasi anarkis. Demonstrasi damai dan simpatik jauh lebih berkesan dan juga mendidik masyarakat ketimbang demonstrasi dengan brutal.

Setiap pemerintahan memiliki konsep pembangunan yang ingin dijalankan. Dalam perjalanannya, pembangunan dalam paradigma pemerintahan seringkali berbenturan dengan pandangan masyarakat yang lebih berpikir pragmatis dan cenderung kekinian semata dibanding konsepsi pembangunan pemerintah yang long term concept dan terstruktur. Namun selalu ada skala prioritas ketika kebijakan berseberangan dengan kepentingan masyarakat, oleh karenanya konsep pembangunan harus fleksibel. Dalam kondisi seperti ini pemerintah tidak boleh acuh terhadap tuntutan masyarakat sebab akan membuat pemerintah kehilangan kepercayaan dan tentu saja berpotensi chaos. Sesungguhnya dalam proses pemerintahan selalu ada dialektika antara pemerintah dan masyarakat. Selalu ada tarik menarik antara keduanya, karena itu hubungan yang terbangun bersifat dinamis.

Konon, rakyat yang lapar mudah menjadi marah, maka tak salah bila Descartes mengatakan “Berikan rakyat roti dan penghiburan maka mereka akan diam. Alangkah baiknya bila pemerintah mau membuka hati mendengar keluhan rakyat, dan pemerintah tentu punya penjelasan atas kebijakan yang dibuat. Jika setiap perbedaan dijembatani dengan dialog dan komunikasi persuasif, sumbat yang tadinya menutup telinga dan hati dapat terlepas.

Tidak ada komentar: