Kamis, 27 November 2008

Pejabat...........So, what?

Manusia, konon punya banyak sisi yang sulit diterka. Karenanya perilaku manusia cenderung susah ditebak. Sepanjang hidupnya manusia belajar untuk memahami kehidupan dan menampungnya dibagian terdalam dari memori dalam bentuk pengalaman. Pengalaman yang menyenangkan akan senantiasa menjadi ingatan yang berkesan namun pengalaman pahit dan tidak menyenangkan seringkali berimplikasi panjang. Dan pada beberapa orang akan melahirkan berbagai macam reaksi yang bersifat psikologis.

Untuk menghindarkan perasaan tak puas atas pengalaman yang tak menyenangkan manusia mempunyai kemampuan mekanisme bertahan yang hebat. Salah satunya adalah dengan identifikasi.Gejala Identifikasi diklasifikasikan ada lima macam, dan yang paling terkenal adalah narsisitik. Narsistik adalah identifikasi terhadap beberapa sifat-sifat yang ada pada diri seseorang. Seorang yang punya orang tua pejabat misalnya, maka ia akan mengidentifikasi dirinya seperti orang tuanya dan hanya tertarik untuk bergaul dengan orang yang dianggap sepadan. Padahal menurut Freud, gejala ini biasanya disebabkan karena ada perasaan tidak berdaya dan tidak berharga pada diri seseorang ketika menghadapi kenyataan yang membuatnya nothing sehingga merasa perlu untuk mengidentifikasi diri pada sesuatu yang dimilikinya.

Suatu hari seorang teman menawarkan tumpangan pulang kantor, meskipun disebut tumpangan juga tidak tepat karena hanya diantar sampai depan lorongnya, dan harus nyambung naik angkot pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan, ia asyik bercerita tentang dirinya, orang tuanya yang pensiunan pejabat di instansi anu, dan beberapa keluarganya yang katanya pejabat di suatu kabupaten, akhirnya setelah sekian lama, ia menutup kisahnya dengan,…..”jadi bu, saya itu keluarga pejabat karena banyak keluargaku yang jadi pejabat”., dengan ekspresi puas dan wajah sumringah. Menatap wajahnya, saya menjadi kasihan dan tiba-tiba saja teringat sabda freud tentang narsisitik.

Salah satu hal yang mengherankan, di Sulawesi Tenggara, khususnya di Kendari, kata “pejabat” sangat bertuah, ia sanggup menggeletarkan suara dan membinarkan pandangan mata. Ia mempunyai efek yang simultan pada seseorang saat mengidentifikasi diri. Orang menjadi bangga dengan memakai atribut pejabat, misalnya pakai kendaraan plat merah. Hal ini paradoks dengan pengalaman di daerah lain yang malu menggunakan atribut semacam itu, karena tidak dapat menunjukkan kepemilikan pribadi.

Pengalaman yang paling menggelitik adalah identifikasi ini kadang tidak menempati ruang yang semestinya. Misalnya dibeberapa instans, pegawai-pegawai biasa memanggil pejabat yang kebetulan keluarganya dengan sebutan “om” di kantor atau seseorang yang menyebut salah seorang anggota keluarganya tanpa menyebutkan nama tapi pangkat dan jabatannya padahal tidak releven dengan cerita. Misalnya “om dirjen, om kadis pertanian, om letkol” dan sebagainya. Fenomena ini sangat menggelikan. Identifikasi semacam ini jelas menunjukkan bahwa yang bersangkutan merasa tak punya wibawa apa-apa tanpa mengaitkan dirinya dengan atribut seperti itu.

Padahal pejabat secara harafiah berarti pemangku jabatan, itu juga menandakan bahwa ia mempunyai bawahan dan memiliki tanggung jawab lebih dibanding bawahannya. Biasanya, jika menyebut kata pejabat maka pastilah pekerjaannya pegawai negeri sipil. Karena lingkupnya pegawai negeri dan pegawai negeri adalah suatu pekerjaan yang digaji oleh negara - dan karena negara tak punya uang melainkan berasal dari pajak rakyat, maka pegawai negeri digaji oleh rakyat. Oleh karena itu, tugas pegawai negeri adalah melayani rakyat. Itu juga berarti, pejabat adalah pimpinan pelayan rakyat.

Sejauh ini, ada pergeseran paradigma dalam memaknai kata pejabat, sebab saat menyebutkan kata tersebut, maka yang dimaksudkan adalah semua konsekuensi-konsekuensi sosial dan previlege yang dimiliki. Padahal segala previlege hanyalah fasilitas yang dipinjamkan oleh negara untuk memudahkan tugas-tugas sang pimpinan pelayan. Tak ada yang istimewa.

Yang istimewa, justru pandangan sebagian orang terhadap kedudukan pejabat dan konstruksi sosial terhadapnya. Dan dapat diduga bahwa pandangan tersebut melahirkan perilaku yang eksklusif pada mereka dan keluarganya, bahkan sebagian orang berusaha mengidentifikasi diri dengan kelas sosial ini. Sesungguhnya konstruksi seperti ini menyedihkan, karena disatu sisi membuat seseorang menjadi oportunis dan disisi yang berbeda orang lain menjadi hipokrit. Sungguh hal yang tak menyenangkan.

24 Mei 2008

Tidak ada komentar: