Kamis, 27 November 2008

Media massa dan Kampanye Politik

Benarkah media massa mampu mempengaruhi perilaku politik memilih khalayak? Pada dasarnya media massa memiliki implikasi yang luas dan bersifat ambigu. Di satu sisi, media dapat menjadi perpanjangan tangan penguasa ketika regulasi tentang pemberitaan berada dalam cengkraman negara yang bersikap sebagai polisi. Di sisi lain, media dituntut untuk menjadi sumber informasi, sarana sosialisasi, pendidikan dan pendewasaan politik bagi masyarakat.

Media massa mempunyai kecenderungan selektif dalam menurunkan pemberitaan namun pertimbangan-pertimbangan yang melatarbelakanginya terkadang tidak rasional. Politisasi informasi sebagai akibat dependensi media pada penguasa dan pemilik modal menyebabkan media tidak mampu menjalankan fungsi pengawasannya. Di lain pihak, media massa seharusnya menjadi sarana bagi masyarakat dalam menyalurkan aspirasinya, alat memperjuangkan kepentingannya dan hak-hak politiknya. Tetapi, hal itu tidak menutupi kenyataan bahwa sesungguhnya media memiliki idealisme, meskipun idealisme ini seringkali bertarung dengan kepentingan pasar ketika pertimbangan kapitalistik ikut ”bermain”.

Independensi dan idealisme media juga seringkali dipertanyakan dalam pemberitaan proses-proses politik yang sedang berlangsung. Pemanfaatan media massa sebagai sarana kampanye yang dikemas sedemikian rupa untuk menciptakan jargon dan pencitraan sudah demikian meluas dalam pilkada. Tujuannya tentu saja untuk merangkul pemilih. Tapi pemilihan media yang tepat tentunya didasarkan pada segmen khalayak yang ingin disasar. Lagipula setiap media mempunyai karakteristik tersendiri. Kampanye melalui Televisi meskipun lebih mahal, dinilai lebih populer karena selain dampaknya seketika, pesan yang disampaikan berkali-kali akan mudah diingat oleh khalayak, seperti Andi Musakkir dengan ”oke”-nya dalam pilkada walikota.

Kampanye melalui surat kabar juga banyak dilirik oleh umumnya kandidiat calon, disamping lebih murah, berita media ini tidak begitu saja hilang dari ruang khalayak. Berita, artikel, press release dan sebagainya dapat menjadi ”suara kampanye” yang efektif bagi calon. Media ini juga dapat menjadi media sosialisasi program, dan khalayak sebagai calon pemilih lebih leluasa untuk mencermati.

Ada dua kelompok khalayak kampanye yang bisa disasar menurut Dan Nimmo. Kelompok pertama adalah khalayak yang mempercayai dan menggunakan media cetak, meskipun mereka juga tidak mengabaikan media siar. Umumnya mereka sudah tahu banyak, loyalitasnya kepada calon tidak terlalu kuat. Kelompok ini aktif memberikan suara, dan pilihannya sudah ditentukan sebelum kampanye.

Kelompok khalayak berikutnya, sangat mempercayai media siar. Jumlahnya relatif banyak, umumnya memiliki tingkat pendidikan sedang-sedang saja. Pilihan mereka ditentukan seberapa menarik kampanye media itu dikemas. Robert MacNeil dalam The People Machine mengidentifikasikan mereka sebagai kelompok yang konservatif, cenderung pasif dalam berbagai hal. Mereka tidak memperhatikan sesuatu dengan cara mendalam, umumnya mudah percaya terhadap segala sesuatu yang disampaikan pada mereka. Kelompok inilah yang menjadi sasaran empuk kampanye.

Namun di Indonesia, ada satu kelompok khalayak yang tidak begitu terpengaruh oleh kampanye politik melalui media, baik media cetak maupun media siar. Mereka umumnya konservatif, aktif, dengan tingkat pendidikan menengah ke bawah, dan cenderung loyal dan fanatik terhadap pilihan politiknya. Biasanya kelompok ini mempunyai ikatan historikal dan kultural yang cukup kuat terhadap figur, partai politik atau organisasi tertentu, misalnya Gus Dur dan PKB di Jawa Timur, Partai Golkar di Sulawesi Selatan, NU di Jawa Tengah dan lain-lain. Kelompok ini tentu menjadi ”PR” tersendiri bagi tim kampanye untuk digarap.

Seberapa besar media massa mempengaruhi perilaku politik memilih (voting behavior) khalayak ? Pada dasarnya, dampak pemberitaan kampanye politik melalui media massa tidak sehebat yang diduga, mengingat khalayak, khususnya di daerah yang cenderung bersifat konservatif dalam menentukan pilihannya. Hal ini dipengaruhi oleh budaya kolektivitas dan paternalistik yang dianut oleh sebagian besar masyarakat indonesia. Nilai, cita-cita, harapan, pilihan dan keputusan individu masih sangat dipengaruhi oleh kelompok dan pemimpin kelompoknya. Keberhasilan dalam mempengaruhi seorang tokoh masyarakat (opinion leader) untuk memasuki partai tertentu akan membuka peluang besar bagi masuknya anggota masyarakat dari tokoh tersebut. Straubhaar dan La Rose, (1996 ). Mengemukakan pemberitaan kampanye politik tidak begitu berpengaruh untuk mengubah perilaku memilih, tetapi hanya memperteguh kecenderungan yang sudah ada.

Kampanye politik di daerah melalui media massa juga dianggap kurang efektif karena durasi kampanye melalui media massa jauh lebih pendek (hanya masa kampanye) dari pada kampanye penjualan barang. Tidak mudah mengubah perilaku memilih masyarakat terhadap seorang calon kepala derah dengan waktu sesingkat itu. Efek media massa hanya dapat menjadi lebih kuat bila diimbangi dengan komunikasi tatap muka; komunikasi antarpersona dan komunikasi organisasi. Kedua bentuk komunikasi tersebut dapat memperteguh pesan yang disampaikan oleh media massa. Efek yang dihasilkan oleh kampanye Ridwan Bae, dengan kesehatan gratisnya melalui show ke daerah-daerah jauh lebih besar gaungnya dari sekedar sosialisasi beberapa calon lainnya di media cetak.

Kenyataannya, komunikasi antarpersona, lebih mempengaruhi khalayak dari pada komunikasi massa dalam memilih kandidiat politik. Menurut Klapper (1978), kelompok ini ditandai dengan pandangan-pandangan tertentu dan sering menjadi sumber serta mengarahkan pandangan individu. Lewat komunikasi formal dan informal, kelompok-kelompok ini berfungsi sebagai mediator bagi pembentukan pengaruh komunikasi massa atas anggota - anggotanya. Diskusi kelompok membuat kesadaran mengenai pesan yang disetujui kelompok. Karenanya mereka cenderung memantau saluran komunikasi yang menyiarkan pandangan-pandangan yang diterima kelompok dan menghindari komunikasi yang bertentangan dengan pandangan kelompok. Para anggota kelompok juga biasanya lebih mengingat pesan yang membuat mereka lebih bersimpati daripada pesan yang membuat mereka tidak bersimpati.

Sebagian besar anggota masyarakat masih berpikiran irasional sehubungan dengan kepartaian. Mereka mengganggap bahwa keanggotaan dalam partai adalah bawaan. Loyalitas kepartaian cenderung membabi buta dan sentimentil. Sementara isu dan ketokohan kandidiat dianggap kurang penting. Tidak sedikit yang memilih partai politik dan tokoh tertentu karena keterikatan psikologis dan kultural. Ini biasanya diidentifikasikan sebagai pemilih konservatif. Berlawanan dengan itu pemilih rasional dianggap sebagai pemilih yang lebih mengedepankan isu dan ketokohan kandidiat dalam memilih. Pemilihan calon disebabkan kesamaan ideologis dan ketertarikan moralitas.

Pemilih rasional umumnya memanfaatkan media untuk mengetahui dan mengenal lebih dekat tokoh atau calon tertentu, sebagai preferensi dalam menentukan pilihan. Mereka tidak terpengaruh oleh isu etnis, kekerabatan, dan isu-isu primordial lainnya. Pemilih rasional banyak mempertimbangkan ketokohan dan kapabilitas calon. Mempertimbangkan visi dan misi, mencermati debat publik oleh para calon dan sebagainya.

Media massa, apapun bentuknya mempunyai khalayaknya sendiri. Kita tidak bisa terlalu ber-ekspektasi bahwa semua khalayak membaca atau menonton kampanye yang disajikan. Yang terpenting adalah materi dan kemasan kampanye yang dibuat sebaik mungkin. Berharap mampu merubah orientasi pilihan semua khalayak juga bukan gagasan yang bagus, sebab tak semua khalayak dapat terpaan kampanye media dalam jangka waktu kampanye yang begitu singkat.

12 Januari 2008

Tidak ada komentar: