Kamis, 27 November 2008

PERAN MEDIA DALAM PILKADA LANGSUNG

Abstrak

Regulasi pemerintah tentang pemilu legislatif, pilpres dan pilkada, merupakan upaya untuk mewujudkan desentralisasi pemerintahan di daerah sebagai akibat dari reformasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Upaya tersebut masih merupakan proses yang berkelanjutan mengingat rendahnya ekspektasi masyarakat terhadap regulasi yang ada. Terbatasnya ruang politik, kurangnya pemahaman masyarakat tentang peraturan perundang-undangan yang ada serta kurangnya sosialisasi politik pada masyarakat berakibat pada kurangnya partisipasi masyarakat dalam pilkada. Karena itu sosialisasi pilkada sebagai bentuk pendidikan politik masyarakat perlu dilaksanakan. Sosialisasi dapat dilakukan melalui media dengan cara memberikan informasi yang benar dan seimbang mengenai pilkada. Di satu sisi keberadaan media seringkali belum dapat dimanfaatkan masyarakat secara optimal. Preferensi masyarakat atas pilihan politik tidak selalu bersifat rasional. Informasi media; kampanye dan iklan politik tidak banyak mempengaruhi pertimbangan politik masyarakat. Ikatan-ikatan primordial dan ketokohan masih menjadi alasan memilih kandidat dalam pemilihan. Konstituen cenderung bersikap sebagai pemilih konservatif.

Keyword: Media, Pilkada Langsung, Komunikasi Politik, Preferensi, Masyarakat


A. Ruang Politik Masyarakat dalam Pilkada

Dalam Undang-Undang yang mengatur tentang pemilu legislatif, pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) masih terlihat bahwa peran partai politik (Parpol) masih sangat mendominasi dalam kehidupan ketetanegaraan di Indonesia. Walaupun saat ini terdapat kebijakan baru dengan diakomodasinya sistem parlemen dua kamar (bikameral), dimana keanggotaan dalam MPR tidak hanya terdiri dari perwakilan parpol di DPR, tetapi juga berasal dari anggota Dewan Pimpinan Daerah (DPD) yang berasal dari tokoh-tokoh independen (non partai) mewakili daerah yang dipilih melalui pemilu. Namun menurut Jimly Asshiddiqie (2004), kewenangan dalam pembuatan kebijakan-kebijakan strategis nasional masih menjadi monopoli anggota DPR – yang notabene adalah perpanjangan dari parpol. Sementara kewenangan DPD dalam pembuatan kebijakan-kebijakan strategis di tingkat nasional dirasakan masih sangat minim. Maka tidak heran jika ada yang menyebut sistem ketatanegaraan kita saat ini menganut ”Soft bicameralism”

Dominasi parpol dalam proses politik dapat mengakibatkan terbatasnya akses dan lemahnya kontrol masyarakat sipil (civil society) terhadap penyelenggaraan negara. Sebab masyarakat dikondisikan untuk menerima bahwa parpol adalah satu-satunya saluran utama untuk memperjuangkan kepentingan sekaligus sebagai sarana kaderisasi dan rekruitmen kepemimpinan nasional dan penyelenggaraan negara.

Dengan di berlakukannya Undang-Undang (UU) No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah Tahun 2004 yang diperkuat oleh Peraturan Pemerintah (PP) No. 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, menandakan regulasi bersejarah pemilihan kepala daerah secara langsung. Pilkada langsung diharapkan akan melahirkan pemimpin-pemimpin baru di daerah yang berkualitas, yang tidak dihasilkan oleh proses konspirasi politik lokal. Singkatnya, pelaksanaan pilkada langsung erat kaitannya dengan kesiapan institusi dan masyarakat daerah dalam melaksanakannya.

Oyugi (2000) mengemukakan, secara konseptual, urgensi diterapkannya sistem pilkada langsung sangat erat terkait dengan upaya untuk mewujudkan tujuan hakiki dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, yaitu terciptanya pemerintahan daerah yang demokratis dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Kendati pada tataran teoritis, hingga saat ini keterkaitan secara langsung antara kebijakan desentralisasi dengan upaya untuk mewujudkan demokratisasi dan kesejahteraan masyarakat di tingkat lokal tersebut masih diperdebatkan.

Disatu sisi UU No 32/2004 adalah bentuk reformasi dibidang kebijakan politik desentralisasi yang semakin progressif karena di dalamnya memuat tentang tatacara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, namun di sisi yang lain, juga terdapat celah yang menunjukkan minimnya ruang politik (politic space) masyarakat sipil di daerah untuk terlibat dalam proses-proses politik di tingkat lokal.

Dalam salah satu ketentuannya, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum daerah (KPUD) yang bertanggung jawab kepada DPRD (pasal 57 Ayat 1). Dengan demikian Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak lagi mempunyai ”hubungan struktural” dengan KPUD. Namun pasal ini akhirnya melahirkan ketergantungan terhadap DPRD dan bukannya pada masyarakat di daerah. Pasal 66 Ayat 3d mengenai pengaturan pengawasan di serahkan kewenangannya kepada panitia pengawas (Panwas) yang dibentuk oleh DPRD. Dengan kondisi yang demikian tentu tidak salah bila banyak kalangan kemudian mengkhawatirkan independensi dan kemandirian KPUD dan panwas dalam melaksanakan tugas yang bebas dari tekanan elit politik lokal yang duduk dalam lembaga tersebut.

Pembatasan ruang politik bagi masyarakat sipil dalam pilkada menurut Sarijo (2004), juga terlihat dalam ketentuan proses pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang harus lewat pintu parpol, yaitu diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol yang memiliki sekurang-kurangnya 15% kursi di DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara syah pada pemilu legislatif (pasal 59 Ayat 2). Sehingga tertutup mekanisme independen di luar parpol dalam seleksi pencalonan kepala daerah dalam pilkada langsung. Padahal di negara lain yang memberlakukan sistem pemilihan langsung memberi kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk mencalonkan diri melalui banyak pintu (tidak hanya melalui partai politik tapi juga assosiasi, organisasi masyarakat, organisasi profesi dan sebagainya).

Semangat reformasi kebijakan desentralisasi politik cenderung masih setengah hati. UU yang mengatur tentang pemerintah daerah masih meniupkan atmosfir ”resentralisasi” dalam pelaksanaan Pilkada. Regulasi yang ada belum juga mengatur tentang wilayah pertanggung jawaban kepala daerah yang memberi peluang kepada masyarakat sipil untuk lebih berperan aktif. Seharusnya dalam pilkada langsung dimana masyarakat memilih langsung kepala daerahnya maka berhak untuk mendapatkan pertanggungjawaban dari individu yang telah dipilihnya. Namun dalam pasal 27 Ayat 2 pertanggungjawaban kepala daerah justru ditujukan kepada DPRD, yang tidak representatif dalam mewakili masyarakat.

Hampir semua negara yang menjalankan sistem perwakilan terdapat kecenderungan bahwa wakil rakyat adalah kelompok elit yang seringkali tidak mempunyai hubungan langsung dengan konstituennya. Demokrasi perwakilan seringkali mengalami captured by elite (pembajakan oleh kelompok elit). Menurut Weimer dan Vining (1992) Demokrasi perwakilan juga mempunyai kelemahan internal yaitu kelemahan antarwaktu, yakni adanya jarak yang cukup lama antara satu pemilihan dengan pemilihan berikutnya, yang memungkinkan para wakil melupakan janji-janji kampanye yang disebabkan oleh kebutuhan pragmatis, kepentingan pribadi maupun penyalahgunaan jabatan.

Kecenderungan lainnya adalah demokrasi perwakilan membuat rasa kepemilikan masyarakat terhadap pemerintah semakin rendah. Proses pemerintahan hanya dipandang sebagai wacana negosiasi dan difusi kepentingan partai politik di lembaga legislatif. Proses ini, menurut Wainwright (2003) dapat mengurangi legitimasi pemerintah, jumlah pemilih cenderung menurun karena pemilih menganggap proses-proses pemerintahan tidak terkait langsung dengan kepentingan mereka. Untuk itu perlu komunikasi langsung antara pemerintah dengan masyarakat di luar jalur partai politik.

Komunikasi langsung tersebut merupakan ruang bagi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi politiknya. Ruang yang terbuka dan adil merupakan wahana bagi pembelajaran politik masyarakat sipil dalam bernegosiasi dengan pemerintah dan memutuskan yang terbaik mengenai kebijakan yang bersifat publik.

B. Sosialisasi Pilkada sebagai bentuk Pendidikan Politik

Pelaksanaan pilkada langsung tidak dapat terlaksana sebagaimana yang diharapkan jika democratic behaviour (perilaku demokrasi) belum eksis di tataran elit penyelenggara pemerintahan, maupun dikalangan masyarakat. Menurut Syarif Hidayat, Substanstive democracy masih kurang relevan dijadikan landasan berfikir dalam memahami praktik pilkada ...................sebab masih minimnya perilaku demokrasi baik di tataran penyelenggara negara maupun masyarakat. Akibatnya proses politik masih lebih banyak didominasi oleh interaksi, kompetisi, dan kompromi kepentingan-kepentingan antara elit penguasa, pada satu sisi, dan elit masyarakat (societal actor), pada sisi lain.

Sistem perwakilan, dan kenyataan tidak terwakilinya aspirasi sebagian besar masyarakat yang diakibatkan oleh sistem dan perilaku elit menyebabkan terbatasnya ruang bagi masyarakat sipil di daerah untuk terakses pada sistem politik dan pemerintahan. Terbatasnya ruang politik bagi masyarakat daerah dalam pelaksanaan pilkada langsung, hendaknya harus disikapi dengan upaya konsolidasi masyarakat sipil di daerah melalui pendidikan politik. Salah satunya adalah dengan mengadakan sosialisasi yang terus menerus mengenai hak dan kewajiban masyarakat dalam pilkada.

Pendidikan politik dikenal dengan istilah political forming atau politische bildung. Disebut forming karena di dalamnya terkandung intensitas untuk membentuk insan politik yang menyadari status, kedudukan politiknya di tengah masyarakat, sedangkan disebut bildung yang berarti pendidikan diri sendiri, karena istilah ini menyangkut aktivitas membentuk diri sendiri dengan kesadaran penuh tanggung jawab untuk menjadi insan politik (Khoiron dkk, 1994)

Pendidikan politik pada hakikatnya menyangkut relasi antar individu, atau individu dengan masyarakat di tengah medan sosial politik dalam menghadapi situasi yang berbenturan antara kepentingan masyarakat secara luas di satu sisi dan negara di sisi lain. Sehingga pendidikan politik berfungsi untuk menyadarkan warga negara untuk sampai pada pemahaman politik atau aspek-aspek politik dari setiap permasalahan sehingga dapat mempengaruhi dan ikut mengambil keputusan di tengah medan politik dan pertarungan kepentingan. Pendidikan politik diselenggarakan sebagai upaya edukatif yang sistematis dan intensif untuk memantapkan kesadaran politik dan kesadaran bernegara.

Sosialisasi politik menurut Hess dan Newman adalah proses mentransmisi pola-pola nilai dan perilaku politik yang stabil dalam suatu masyarakat. Semua pembelajaran politik baik formal maupun informal, tidak hanya melibatkan belajar politik secara eksplisit. (Effendi, 1989). Sehingga dalam hal ini, ada satu kajian yang berhubungan erat dengan sosialisasi politik, yaitu teori belajar sosial (social learning theory). Menurut teori ini, seseorang mempelajari perilaku baru dengan dua cara, pertama, belajar melalui konsekuensi respon (learning by response consequences), dan kedua, belajar melalui peniruan (learning through modelling). Perubahan kognisi politik sebagai salah satu hasil belajar (sosialisasi) politik bermula dari pengamatan terhadap suatu peristiwa dan respon yang diberikan terhadap peristiwa tersebut, kemudian menjadi behavior system yang mengendap. Hal tersebut dapat menjadi agen yang merubah perilaku. Sementara itu di lain pihak peristiwa-peristiwa politik yang terjadi secara sistematis, baik langsung maupuin tidak langsung secara metodis mampu menciptakan adaptasi terhadap perilaku sehingga menimbulkan peniruan.

Sosialisasi politik akan berhasil jika ditunjang oleh saluran yang representatif. Saluran yang selama ini dianggap efektif dalam menyampaikan informasi politik adalah melalui saluran komunikasi massa, saluran komunikasi interpersonal, dan saluran komunikasi organisasi. Saluran komunikasi massa merupakan komunikasi yang berasal dari satu sumber kepada banyak khalayak. Ada dua bentuk saluran massa yang dibedakan oleh langsung tidaknya komunikasi yang dijalankan. Bentuk yang pertama adalah komunikasi tatap muka antara komunikator politik dengan audiensnya. Bentuk kedua adalah komunikasi yang menggunakan media massa sebagai perantara.

Soemarno (2001) mengemukakan, fungsi saluran massa dalam kegiatan politik adalah untuk menyampaikan informasi politik, sebagai fungsi partisipasi, fungsi sosialisasi dan pendidikan politik, fungsi mengembangkan budaya politik serta fungsi integritas bangsa. Sementara Robert dalam rakhmat (1985), mengatakan bahwa efek dari komunikasi massa adalah perubahan perilaku manusia setelah menerima terpaan media.

Pesan politik yang disampaikan baik oleh media maupun melalui komunikasi secara langsung dengan komunikator politik; individu maupun organisasi secara konsisten dan sistematis dapat mengubah perilaku politik masyarakat. KPUD, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, partai politik dan pemerintah dapat menjadi ”guru yang baik” bagi masyarakat bila masing-masing dapat menjalankan peran sosial politiknya dengan baik. Wacana pendidikan politik bagi masyarakat dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk, tetapi yang terpenting adalah bagaimana memastikan partisipasi masyarakat dalam penyusunan dan laju gerak political will di negara ini. Sehingga masyarakat bukan hanya sebagai obyek politik tapi juga berperan sebagai subyek politik .

C. Pengaruh Media dan Preferensi Masyarakat

Pemilihan kepala daerah langsung adalah salah satu ruang bagi masyarakat dalam merealisasikan partisipasi politik. Karenanya momen ini hendaknya benar-benar bebas pressure dari pemerintah dan juga pers. Tidak hanya dalam dimensi kebebasan tapi juga penghargaan terhadap pilihan politik yang telah ditetapkan oleh masyarakat sebagai pemilih.

Dimensi kebebasan dan penghargaan terhadap hak politik, khususnya dalam pemilihan kepala daerah berarti membuka peluang yang luas dan memberi kesempatan pada masyarakat untuk mendapatkan the real political education. Pendidikan politik tentunya tidak saja dimaknai dalam konteks pendidikan yang bersifat formal tapi juga pendidikan informal melalui knowledges by experiences. Masyarakat belajar memilih pemimpin berdasarkan pilihan atas kriteria yang dianggap dapat mewakili figur yang diinginkan. Namun kemudian yang menjadi poin penting dalam hal ini adalah, sejauh mana masyarakat dapat mengidentifikasi seorang kandidiat politik yang mewakili kriteria yang ideal menurut mereka, dari mana sumber pengetahuan mereka tentang itu dan bagaimana mendapatkan informasi tersebut. Beberapa kalangan menyebutkan bahwa sumber informasi yang banyak diadopsi oleh masyarakat adalah melalui media massa.

Benarkah media massa mempengaruhi perilaku politik memilih (voting behavior) khalayak ? Pada dasarnya, dampak pemberitaan kampanye politik melalui media massa tidak sehebat yang diduga, mengingat khalayak, khususnya di daerah yang cenderung bersifat konservatif dalam menentukan pilihannya. Hal ini dipengaruhi oleh budaya kolektivitas dan paternalistik yang dianut oleh sebagian besar masyarakat indonesia. Nilai, cita-cita, harapan, pilihan dan keputusan individu masih sangat dipengaruhi oleh kelompok dan pemimpin kelompoknya. Keberhasilan dalam mempengaruhi seorang tokoh masyarakat (opinion leader) untuk memasuki partai tertentu akan membuka peluang besar bagi masuknya anggota masyarakat dari tokoh tersebut. Straubhaar dan La Rose (1996 ), mengemukakan pemberitaan kampanye politik tidak begitu berpengaruh untuk mengubah perilaku memilih, tetapi hanya memperteguh kecenderungan yang sudah ada

Kampanye politik di daerah melalui media massa juga dianggap kurang efektif karena durasi kampanye melalui media massa jauh lebih pendek (hanya masa kampanye) dari pada kampanye penjualan barang. Tidak mudah mengubah perilaku memilih masyarakat terhadap kandidat politik dan partai politik dengan waktu sesingkat itu. Efek media massa hanya dapat menjadi lebih kuat bila diimbangi dengan komunikasi tatap muka; komunikasi antarpersona dan komunikasi organisasi. Kedua bentuk komunikasi tersebut dapat memperteguh pesan yang disampaikan oleh media massa.

Komunikasi antarpersona, lebih mempengaruhi khalayak dari pada komunikasi massa dalam memilih kandidiat politik. Menurut Klapper (1978), kelompok ini ditandai dengan pandangan-pandangan tertentu dan sering menjadi sumber serta mengarahkan pandangan individu. Lewat komunikasi formal dan informal, kelompok-kelompok ini berfungsi sebagai mediator bagi pembentukan pemgaruh komunikasi massa atas anggota-anggotanya. Diskusi kelompok membuat kesadaran mengenai pesan yang disetujui kelompok. Karenanya mereka cenderung memantau saluran komunikasi yang menyiarkan pandangan-pandangan yang diterima kelompok dan menghindari komunikasi yang bertentangan dengan pandangan kelompok. Para anggota kelompok juga biasanya lebih mengingat pesan yang membuat mereka lebih bersimpati daripada pesan yang membuat mereka tidak bersimpati.

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sehubungan dengan preferensi pilihan konstituen, terdapat gambaran yang jelas bahwa sebagian anggota masyarakat di pedesaan berpikiran irasional sehubungan dengan kepartaian. Mereka mengganggap bahwa keanggotaan dalam partai adalah bawaan. Loyalitas kepartaian cenderung membabi buta dan sentimentil. Sementara isu dan ketokohan kandidiat dianggap kurang penting. Tidak sedikit yang memilih partai politik dan tokoh tertentu karena keterikatan psikologis. Ini biasanya diidentifikasikan sebagai pemilih konservatif. Berlawanan dengan itu pemilih rasional dianggap sebagai pemilih yang lebih mengedepankan isu dan ketokohan kandidiat dalam memilih. Pemilihan partai disebabkan kesamaan ideologis dan ketertarikan moralitas.

Masih kuatnya pemilih konservatif di indonesia, setidaknya menunjukkan dua hal; pertama masyarakat menganggap figur (siapa kandidatnya) jauh lebih penting dari pada partai politik yang mengusung kandidat. Kedua, partai belum mampu melakukan kaderisasi dengna baik. Sehingga seringkali terjadi adanya partai yang berkoalisi dengan dengan partai lain yang mempunyai ideologi yang berbeda, misalnya Koalisi PKS dan PDIP di Yogyakarta. Namun ada juga kalangan yang menganggap bahwa kondisi ini merupakan akibat dari pemilihan dengan sistim distrik.

Loyalitas terhadap partai dan tokoh politik juga ditunjukkan oleh adanya kecenderungan incumbent 18,2% dari seluruh pemilihan kepala daerah propinsi se-Indonesia. Kecenderungan ini terlihat semakin besar di pemilihan kepala daerah kabupaten/kota. Di Propinsi Jawa Timur bahkan mencatat dari semua pilkada kabupaten-kota, 80 % di antaranya incumbent. (Survai Metro TV, 2006)

Siap tidaknya masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam pilkada di daerah bergantung pada terbangunnya kesadaran politik yang mengikat mereka dalam sebuah pemahaman tentang pentingnya menggunakan hak politik sekaligus menjalankan kewajiban politiknya demi untuk kesejahteraan dan keadilan. Namun, tinggi rendahnya kesadaran politik di tentukan oleh kapasitas pemahaman tentang politik partisipatif dari masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini media dalam kapasistasnya sebagai social agent dan control agent dapat berperan guna membangun kesadaran politik sekaligus mengontrol perilaku politik para elit melalui pemberitaan dan pemberian informasi yang seimbang dan edukatif.

D. Penutup

Rendahnya ekspektasi dan pemahaman masyarakat di daerah dalam menyikapi peraturan perundang-undangan tentang pilkada, menyebabkan kurangnya partisipasi aktif mereka dalam pelaksanaan pilkada. Perilaku memilih masyarakat yang cenderung konservatif memberikan gambaran mengenai belum sepenuhnya masyarakat menggunakan haknya secara benar. Ikatan-ikatan primordial dan latar belakang ketokohan lebih populer sebagai preferensi pilihan ketimbang isu-isu politik, latar belakang ideologis dan pertimbangan moralitas. Menyikapi hal tersebut perlu adanya sosialisasi dalam bentuk pendidikan politik bagi masyarakat di daerah. Sarana yang dianggap penting untuk itu adalah media massa. Namun kenyataannya media menemui berbagai kendala sehubungan dengan kondisi masyarakat di aras lokal.

Media secara sentral, mempunyai peran sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat melalui fungsinya dalam memberikan informasi dan edukasi. Dalam hal pendidikan politik, media dapat menyediakan berbagai informasi mengenai pilkada sebagai bentuk sosialisasi, menyajikan pemberitaan yang aktual dan berimbang sebagai kontrol terhadap perilaku elit dan memudahkan masyarakat untuk mengaksesnya.

E. Daftar Pustaka

1. Effendi, Onong, Uchjana. 1981. Dinamika Komunikasi. Remaja Karya. Bandung

2. Khoiron, M. Nur dkk.1999. Pendidikan Politik bagi Warga Negara (Tawaran Operasional dan Kerangka Kerja). LKIS. Yogyakarta

3. Mulyana, Deddy. 2001. Kampanye Politik Sebagai Teater dalam Nuansa-Nuansa Komunikasi Meneropong Politik dan Budaya Komunikasi Masyarakat Kontemporer . Remaja Rosdakarya. Bandung

4. Oyugi, O.W. 2000. Decentralisation for Good Governange and Development: The Unending Debate, dalam Regional Development Dialogue, Vol. 21, No. 1, Spring 2000

5. Rakhmat, Jalaluddin. 1985. Psikologi Komunikasi. Remaja Karya. Bandung

6. Sarijo, P. 2004. Mendorong Peran Kritis Organisasi Masyarakat Sipil dalam Penyelenggaraan Pilkada Langsung dalam Agenda Pilkada dan Kesiapan Masyarakat. LSP3RA. Boyolali

7. Soemarno, A.P. 2001. Komunikasi Politik. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka

8. Straubhaar, Joseph, dan Robert La Rose. 1996. Communication Media in the Information Society. Belmont; Wadsworth

9. Wainwright, Hilay. 2003. Reclaim the State: Experiments in Popular Democracy. Sage Publishing. New York

10. Weimer, L. David, dan Aidan R. Vining, 1992. Policy Analysis: Concepts and Practice. Random House. New York

Tidak ada komentar: