Kamis, 27 November 2008

Diskursus tentang minimnya perempuan yang masuk dalam arena kekuasaan dan enggannya sebagian perempuan terlibat dalam kancah politik berakar dari stereotipe perempuan tradisional yang tidak mengenal kekuasaan.

Wacana konservatif tentang kefemininan tidak pernah memasukkan unsur ketegaran, keperkasaan, atau ketegasan yang merupakan unsur inti kekuasaan yang diidentikkan sebagai ranah maskulin. Stereotipe klasik mengenai perempuan dan kefemininan tidak mencantumkan gagasan kekuasaan. Walaupun kondisi perempuan telah berubah dan pemahaman tentang feminin telah mengalami titik balik namun wacana-wacana tersebut sukar dihilangkan.

Ironisnya, masyarakat seakan tidak menghendaki perempuan membangun kualitas kekuasaan dalam diri mereka. Di kalangan civitas akademik pun tak terkecuali. Dalam salah satu kesempatan, seorang kolega dosen laki-laki sempat mengungkapkan uneg-unegnya, bahwa perempuan tidak perlu menduduki jabatan struktural, alasannya karena perempuan mempunyai sejumlah hambatan biologis sehubungan dengan kodratnya, sebab bila perempuan cuti melahirkan maka pekerjaannya juga akan didelegasikan kepada orang lain. Sebuah alasan yang sangat absurd dan tidak berdasar. Seorang pejabat struktural yang juga seorang konsultan proyek misalnya, toh juga bisa cuti untuk mengurus pekerjaannya, mengapa untuk urusan sepenting melahirkan tidak? Tak ada alasan untuk menerapkan standar ganda dalam memetakan perbedaaan ini dan mendiskreditkan kemampuan perempuan. Bagaimana perempuan dapat berilusi menjadi pemimpin bila tak satupun gagasan kultural yang dapat mengarahkan mereka. Rambu-rambu kultural tak memberi ruang kebebasan untuk berkiprah dalam dunia kekuasaan.

Pemikiran bahwa feminin identik dengan kelembutan, kemanjaan, keramahan, kehangatan, kekanaka-kanakan dan ketidaktegasan, tidak saja menjadi asumsi sebagian besar laki-laki dan perempuan umumnya. Bahkan saya mengenal seorang perempuan, anggota DPRD, aktifis salahsatu partai besar di daerah ini, dapat keliru dalam mendefinisikan kekuasan dalam konteks feminisme. Di suatu pelatihan politik untuk perempuan ia mengatakan bahwa perempuan-perempuan yang duduk di parlemen dan tidak pernah ‘bersuara’ karena terlalu feminin. Perempuan pun bisa salah dalam menempatkan sisi dirinya yang lain. Mungkin menurutnya, perempuan yang terjun dalam dunia politik harus menjadi lebih maskulin dan mengelimir sikap kefemininan. Dalam sejarah kekuasaan, kontestasi antara feminin dan maskulin hampir tidak pernah reda, meskipun pada banyak catatan romantisme feminis selalu ditenggelamkan oleh kultur dan juga sejarah.

Jelaslah bahwa atribut kekuasaan yang seringkali didefinisikan sebagai maskulin adalah konstruksi budaya. Karenanya ia dapat diubah. Sudah saatnya wajah kekuasaan dipoles dengan kefemininan. Pendekatan kekerasan, ketegasan, kekuatan dan sebagainya yang selama ini identik dengan kekuasaan perlu diubah dengan model pendekatan persuasif, luwes, dan netral. Perempuan dalam arena kekuasaan dapat membangun citranya sendiri sebagai kekuatan yang mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, sesuai dengan sifatnya yang welas asih terhadap sesama, utamanya masyarakat dan kaum marginal. Perempuan setidaknya dapat mendefinisikan kekuasaan sebagai cara untuk memelihara tatanan masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera, mengingat perempuan juga mempunyai kemampuan yang lebih dalam pemeliharaan dan pengasuhan. Segregasi antara feminin dan maskulin dalam konteks politik tidaklah rasional, sesungguhnya mitos yang demikian hanya memberi peluang bagi tumbuhnya diskriminasi politik terhadap perempuan.

Menurut Musdah Mulia dan Anik Farida, sudah saatnya konsep women power dimasukkan dalam kekuasaan. Konsep women power mengintegrasikan kualitas perempuan dengan beberapa karakteristik laki-laki dan kedua atribut ini memiliki nilai yang sama. Women power memaknai kekuasaan sebagai kemampuan melaksanakan sesuatu yang berguna bagi orang lain dan jabatan adalah sarana untuk memberdayakan orang lain. Sehingga kekuasaan perempuan mencakup nalar, tujuan dan agenda.

Sidney Verba menulis bahwa sumbangan terpenting perempuan di dunia politik adalah mereka lebih berminat mengerjakan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat daripada memperluas lingkup kekuasaan mereka sendiri. Ini modal sosial yang dimiliki perempuan untuk masuk dalam kancah politik. Merebut simpatik dengan kekuatan yang dipantulkan sisi feminin perempuan.

Tidak mudah meraih kekusaan bagi perempuan, ada banyak hal yang harus dibuktikan olehnya. Bila dalam sebuah pertarungan laki-laki hanya perlu menunjukkan kemampuannya maka perempuan lebih dari itu, ia juga harus menunjukkan eksistensinya, bukan hanya pada laki-laki tapi juga pada kaumnya. Tumbuh di tengah budaya patriarki yang kental, perempuan butuh energi lebih untuk berjalan setara dengan laki-laki. Karenanya perlu disadari oleh semua perempuan bahwa kekuasaan bukanlah hal yang datang dengan serta merta tapi sesuatu yang harus diperjuangkan dan direbut. Pemerintah telah memberikan peluang dengan Paket UU Politik. Kuota 30% yang memungkinkan lebih banyak perempuan terjun dalam politik perlu disambut. Salah satu hal yang harus dilakukan adalah meningkatkan kapasitas kemampuan pribadi agar perempuan lebih berperan dalam penetapan kebijakan, utamanya yang menyangkut hak-hak dasar anak dan perempuan.

12 Maret 2007

Tidak ada komentar: