Kamis, 27 November 2008

Humor dan Kita

Pada sebuah kegiatan pelatihan, sekelompok siswa menampilkan parodi pada malam ramah tamah. Parodi itu berkisah tentang seputar kehidupan dan kegiatan mereka selama mengikuti pelatihan. Karena judulnya parodi maka tentu saja dikemas dalam cerita humor nan lucu. Belum lagi tawa terhenti dan pertunjukan usai, mereka `diusir` panitia dari panggung hingga berlarian turun seperti anak ayam kehilangan induk. Apa yang salah?

Rupanya tak semua orang bisa arif menerima kritikan, sehalus apapun. Apakah ini gambaran dari sebagian sikap birokrat kita? Saya pernah membaca sebuah memoar yang bercerita tentang ditangkapnya seorang pelawak di masa Orde Lama hanya karena memplesetkan Ganefo menjadi Ganewul. Pada zaman itu Ganefo adalah benda keramat. Ganefo (Games of The New Emerging Forces) adalah semacam olimpiade yang digagas oleh Bung Karno sedangkan Ganewul adalah singkatan dalam bahasa jawa, Segane Thiwul yang berarti nasinya dari singkong. Hingga kini nasib sang pelawak tak jelas sama dengan tidak jelasnya aturan hukum yang menjeratnya.

Ada masanya ketika humor punya risiko untuk ditampilkan sehingga harus didisiplinkan dan punya aturan main sendiri. Saat itu kreatifitas memiliki batasan dan dipasung. Masa itu lelucon bisa menjadi subversif bila `menggaruk` kemapanan tanpa ampun karena dianggap bisa menjadi epidemic yang menimbulkan pembangkangan. Sungguh masa yang suram.
Inikah bentuk sensor yang lain? Mungkin seringkali terdengar film disensor sebelum disebarluaskan dan ditayangkan di bioskop dan televisi. Beberapa tahun sebelumnya buku-buku dilarang terbit dan dibakar serta pengarangnya dikucilkan. Dulu hal itu biasa tapi saat ini ketika reformasi didengungkan dan kata sakti ini tidak hanya menggema dalam tataran politik tapi juga pikiran dan moral. Apa yang salah?

“Kemapanan” keluh seorang bijak , mempunyai harga mati, ia seperti raja tua yang haus kekuasaan dan enggan meninggalkan tahta. Hanya saat mangkat, ia akan berhenti.” Seperti kemapanan itu sendiri yang akan aus oleh gelombang perubahan, mungkin peradaban. Masalahnya tak seorangpun yang bisa memastikan kapasitasnya sebagai manusia. Mempertanyakanya perlu kerendahan hati dan batin yang super. Toh akhirnya kita perlu mengakui dengan malu-malu bahwa Freud benar dengan Teori Psikoanalisisnya, pada dasarnya struktur jiwa manusia yang mempengaruhi perilaku adalah hasil interaksi tiga subsistem dalam kepribadian manusia; id, ego dan superego. Secara gambling id diartikan sebagai hasrat hewani yang ada dalam diri manusia, superego adalah polisi kepribadian yang mewakili sisi ideal manusia, hati nurani. Dan di antara dua kutub ekstrim ini ego menjadi jembatan dan mediator antara hasrat hewani dan tuntutan realistic dan rasional. Ego lah yang membuat manusia hidup normal.

Interaksi yang tidak seimbang antara ketiganya akan menjadikan manusia bisa kehilangan kemanusiaannya. Karenanya manusia perlu cermin untuk mencermati dirinya “mirror, mirror in the heart, show me, who I am.” Namun tak setiap manusia siap menerima dirinya, tidak setiap manusia mau menelanjangi batinnya. Padahal siapa sesungguhnya yang ingin dibohongi, diri sendiri ataukah orang lain? Bukankah sekali-kali menertawai diri sendiri itu perlu? Tidakkah disadari bahwa sering pula kita bertindak konyol hanya untuk sesuatu yang kita sendiri kurang paham untuk apa dan menganggap kekonyolan itu sebagai hal yang lazim?

Barangkali kita semua harus belajar untuk tersenyum atau mungkin tertawa terbahak. Slogan “tertawa itu sehat” harus ditancapkan di dada kita. Karena “pada zaman yang makin sulit, hanya orang-orang kecil dan hidup dalam tekanan yang berat yang mampu bertahan justru dengan alasan mereka sudah terbiasa hidup dengan penderitaan” kata Pietro Spina seorang pejuang revolusi yang menyamar sebagai pastor dalam novel Ignazio Silone yang berjudul Bread and Wine dan diterbitkan 42 tahun lalu. Novel berlatar belakang perjuangan gerilyawan bawah tanah (Clandestine) yang menentang Fasisme Mussolini di Italia. Menceritakan bagaimana orang-orang kecil, rakyat kebanyakan yang bisa survive karena menghibur diri dengan menertawai kesusahan mereka, ulah para pemimpin dan lucunya aturan-aturan yang berlaku.
Humor bisa menjadi obat yang mujarab bagi hati yang nelangsa sekaligus penghiburan bagi rakyat yang terluka. Toh, tak ada satu aturan pun yang menyatakan humor-humor tertentu dilarang. Seorang Gus Dur yang oleh sebagian orang dinilai sebagai sosok arogan pun dapat tertawa terkekeh ketika mendengar dirinya menjadi banyolan sebuah grup lawak di televisi.

Menertawai diri sendiri, tentu berbeda dengan menertawai orang lain. Menertawai diri sendiri mengandung ironi dan semangat untuk mengoreksi diri tapi menertawai orang lain lebih bermakna mengejek ketimbang memperbaiki orang lain. Permasalahannya kerapkali kita malu mengakui bahwa ada noda hitam dalam diri kita yang tidak siap dihadapi. Jika demikian bisakah setiap orang mengumumkan dirinya besar jika tidak berani mengatakan kekurangannya, jika tidak bisa mengakui bahkan dengan suara lirih sekalipun bahwa ia bukan siapa-siapa dan tak berarti apa-apa tanpa orang lain.

Parodi yang ditampilkan di malam ramah tamah pelatihan itu, kurang lebih mengajak orang untuk merefleksi diri sendiri. Rupanya tak setiap orang terampil untuk berefleksi. Untunglah seorang Bapak yang menyaksikan Parodi siswa tadi, dengan bijaksana berkomentar” kreativitas para siswa harus dapat dihargai, itu hanyalah improvisasi sebagai refleksi dari apa yang mereka alami dan rasakan selama pelatihan, tentu tanpa maksud menyinggung satu individu atau instansi tertentu”. Tapi penonton terlanjur kecewa dan sisa malam itu berakhir, menyisakan hati yang rawan bagi para siswa. “Parodi bukanlah parodi jika tidak mengandung kelucuan dan satire”gumam seorang siswa, “karena itu ia mengundang tawa”.

17 September 2006

Tidak ada komentar: