Kamis, 27 November 2008

Produksi Kesan ala Pilkada

Permilihan kepala daerah (pilkada) adalah momen politik yang paling dinantikan oleh segenap elit politik lokal dan masyarakat. Pesta demokrasi ini menjadi ajang unjuk kekuatan dan pengaruh oleh elit lokal sekaligus menjadi penghiburan bagi masyarakat kecil, saat para elit dengan royalnya menghamburkan materi dan mengumbar janji.

Namun ada yang lain dalam pilkada yang akan datang. Untuk pertama kalinya, Provinsi Sulawesi Tenggara akan melaksanakan pilkada langsung, dimana masyarakat akan memilih secara langsung kepala daerahnya. Itu berarti masyarakat di aras bawah menggunakan hak pilihnya secara real. Meskipun Dominasi parpol dalam proses pencalonan kandidat masih berlaku tetapi idealnya, final execution tentang siapa yang akan menduduki jabatan tersebut ada di tangan masyarakat.

Pilkada Provinsi Sulawesi Tenggara dilaksanakan beberapa bulan lagi namun baliho dan spanduk sudah terlihat dimana-mana dengan jargon-jargon politik, slogan-slogan politik dan senyum klimis. Sosialisasi tokoh menjadi alasan. Sekretariat relawan dan tim sukses didirikan untuk menjaring dukungan tokoh masyarakat dan partai politik. Tentu saja itu yang terlihat namun dibalik meja ada deal-deal politik dan pengkonstruksian arena politik yang dilakukan dengan diam-diam.

Dalam dunia politik, para elite politik, seringkali mengelola kesan terutama dalam kampanye, mereka meminkan peran tertentu di depan khalayak, yang terdiri dari tindakan-tindakan tertentu kepada khalayak yang sesuai dengan statusnya sebagai elite politik. Untuk memainkan peran sosialnya, biasanya mereka menggunakan bahasa verbal berupa jargon-jargon dan slogan-slogan politik. Partai politik bertindak sebagai sponsor dan membangun citra yang besar dari panggung kampanye satu ke panggung kampanye lainnya.

Erving Goffman memandang bahwa manusia berinteraksi dengan melakukan pengelolaan kesan yang ingin ia tumbuhkan terhadap orang lain. Goffman menelaah kehidupan manusia menggunakan paradigma dramaturgis yang berasal dari teori interaksi simbolik George Herbert Mead. Menurut teori ini, manusia belajar memainkan berbagai peran dan mengasumsikan identitas yang relevan dengan peran-peran ini, menunjukkan pada satu sama lainnya siapa dan apa mereka, serta mendefinisikan situasi-situasi yang mereka masuki, dan perilaku-perilaku pun berlangsung dalam konteks identitas sosial, makna dan definisi situasi tersebut. (Deddy Mulyana, 2001)

Tentu saja hal ini berlaku hanya sesaat. Pada masa kampanye pereduksian kesan dengan memainkan peran tertentu adalah hal yang biasa. Pengelolaan kesan ini kemudian banyak terbantu dengan kehadiran media sebagai sarana promosi dan kampanye tokoh politik. Pengelolaan kesan ini diakui efektif untuk menjaring massa. Permasalahannya adalah sebagian masyarakat seringkali terkecoh dengan kondisi ini. Jargon, dan slogan politik mampu menggalang histeria massa pendukung. Janji dan bantuan yang berkedok kemanusiaan dan berdiri di balik jabatan mampu memenangkan hati masyarakat. Akhirnya yang tercipta kemudian adalah pendukung fanatik yang tak lagi menggunakan rasionalitas dalam menentukan pilihannya tetapi hanya melihat realitas sesaat yang menyesatkan. Karenanya peran media dalam memberikan gagasan konstruktif dan menyiarkan pemberitaan yang hati-hati dan berimbang tanpa kesan berpihak pada salah satu tokoh merupakan salah satu solusi.

Kendari, 8 Oktober 2007

Tidak ada komentar: