Kamis, 27 November 2008

Saling Memahami

Menikah dan hidup berbagi dengan suami adalah hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Kehidupan sebelum menikah yang hanya terpusat pada diri sendiri harus berubah serta merta dengan hadirnya orang lain yang juga membutuhkan perhatian kita. Karenanya, tiga bulan pertama pasca menikah adalah rutinitas yang mengejutkan. Jadwal-jadwal kegiatan yang harus bergeser, prioritas yang berubah, pekerjaan yang terasa penuh, waktu sehari rasanya tak cukup untuk menyelesaikan semua urusan. Akhirnya aku sering uring-uringan, yang menjadi victim…, tentu saja suami.

Sebagai seorang dosen di sebuah universitas negeri, tentunya aku punya banyak kesibukan untuk memenuhi kewajiban profesi dan tridharma perguruan tinggi. Waktuku yang tersisa selama ini aku gunakan untuk mengajar di perguruan tinggi swasta. Aku tidak mau meninggalkan rutinitas tambahan itu setelah menikah dengan pertimbangan bahwa suamiku kerja sebagai pegawai dengan status kontrak di Pemda. Hidup di rumah kontrakan, kebutuhan hidup rumah tangga baru yang banyak serta tidak mendapatkan sokongan dana dari orang tua juga menjadi salah satu alasanku. Karena itu pula kami belum mau menggaji pembantu rumah tangga.

Sebelum menikah, rutinitas pagi hari sebelum ke kampus biasanya aku habiskan di depan komputer untuk menulis artikel atau menyelesaikan laporan penelitian sambil mendengarkan berita pagi dari televisi. Rasanya ide-ide mengalir lebih mudah, lagipula aku merasa masih segar dan bersemangat. Kini pagi hariku kulewatkan dengan membuat sarapan, menyeterika baju dan tetek bengek lainnya, rumah harus rapi sebelum ditinggal karena aku juga gengsi bila dicap suami sebagai istri yang tidak becus mengurus rumah.

Yang menyebalkan, kadang-kadang aku dan suami harus rebutan komputer. Pekerjaan tambahannya yang menuntutnya untuk kerja lembur di rumah memungkinkan ia menerima penghasilan tambahan diluar honornya. Sementara, aku sendiri mempunyai pekerjaan yang harus diselesaikan dengan pertolongan komputer. Buntut-buntutnya, aku suka ngambek, pas lagi kerja suami permisi pinjam komputer. Atau dilain waktu, aku yang kesal karena harus antri menunggu suami selesai kerja dengan komputer. Beli laptop? Huh...boro-boro, masih banyak prioritas utama untuk dibeli, begitu kata suamiku.

Salah satu hal yang sering bikin aku senewen adalah kebiasaannya yang nggak rapi. Saban hari aku mesti memungut pakaian kotornya di tempat tidur, sepatu dan kaus kaki di kolong meja, sampah kertas di sekitar meja kerja dan sebagainya. Sekali aku tegur, ia ingat untuk disiplin tapi kali berikutnya, kebiasaan jelek itu diulang lagi. Akhirnya aku simpan keranjang pakaian kotor di samping tempat tidur dan tempat sampah kecil di samping meja komputer. Tapi sepatunya masih sering berkeliaran di mana-mana.

Awalnya, semua terasa berat. Aktivitas yang bejibun ditambah tugas rumah tangga bikin aku senewen. Merasa kewalahan, aku akhirnya memutuskan untuk mengurangi kegiatan di luar dengan sukarela. Keterlibatanku di sejumlah organisasi aku kurangi, beberapa teman menyayangkan tapi ini keputusan terbaik. Tentu saja suamiku senang!

Satu tahun pertama betul-betul ujian bagiku. Ribut- ribut kecil dengan suami sering terjadi seputar pekerjaan rumah tangga yang menurutku gak ada abis-abisnya. Biasanya suamiku ngalah dan diam saja. Tapi lama-lama aku bete dicuekin kalo ngedumel. Akhirnya suamiku bertanya ”emangnya mama pengennya seperti apa?” Aku bilang aja aku ingin dia ikut memikirkan bagaimana pekerjaan rumah tangga nggak menyita waktuku.

Suatu hari pulang kantor pukul 16.45. rumah lengang, pintu rumah yang terkunci kubuka. Di dalam kamar kutemukan suamiku tidur pulas. Nggak ingin mengganggu, aku berjingkat ke belakang untuk wudhu, tiba-tiba mataku terarah pada pakaian yang berjejer rapi di jemuran. Luar biasa.....! Surprise rasanya memikirkan suamiku mau turun tangan membantu dalam urusan mencuci pakaian. Dan sejak itu jadilah mencuci pakaian rutinitasnya setiap dua hari sekali.

Tapi emang dasar, aku aja kali yang sableng. Beberapa bulan kemudian aku ikut penelitian keluar kota selama sebulan. Pulang dari penelitian di lanjutkan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) tentu saja setelah itu masih harus membuat laporan. Selama masa sibuk itu, jadilah suamiku yang meng-handle sebagian besar pekerjaan rumah. Akibatnya beberapa waktu kemudian ia protes, ”Ma, sibuk melulu kapan dong punya waktu untuk suami?”, mendengar itu aku punya seribu satu alasan tentang kesibukan lainnya, tentang pengabdian masyarakat, keterlibatan di lembaga anu, penelitian ini, pelatihan itu, mengajar di sana-sini, bla, bla, bla, hingga alasan untk mencari tambahan uang”. Suamiku diam, aku puas. Aku lalu mencurahkan diri dalam kesibukan.

Hingga suatu saat, aku sadar ada yang hilang dalam interaksiku dengan suami. Ia menjadi lebih diam, tak lagi protes dan cenderung menarik diri. Aku curiga, ketika kutanya ia hanya menggeleng. Aku jadi gelisah. Aku lalu memperhatikan, ia jarang makan di rumah. Sering terlambat pulang kantor, dan yang paling menyakitkan ia bersikap seakan-akan aku tidak ada.

Aku memutuskan untuk berbicara serius dengannya. Suatu hari ketika ia di rumah aku meluangkan waktu untuk menemaninya. Bertanya dan memaksanya untuk bercerita, maka mengalirlah semua, tentang ketidakpuasannya padaku, tentang kekecewaannya terhadap sikapku dan sebagainya. Aku meradang dan mengatakan (sambil berteriak) ”aku tak pernah menginginkan perkawinan yang hanya menjadi penghalang bagiku untuk maju”. Suamiku tersinggung, dan aku terkejut dengan efek kata-kataku. Suamiku diam dan memandangku dengan pandangan yang tak pernah kulihat sebelumnya, bahkan saat ia masih menjadi sahabatku dulu. Pandangan bercampur marah, terluka dan sakit hati. Aku tahu aku telah melakukan kesalahan. Ia pergi dengan bibir yang bergetar.

Semalaman aku tak bisa tidur, menunggunya pulang dan memikirkan smsnya. ”Aku tidak habis pikir ma, aku sudah berusaha untuk menjadi suami yang baik untukmu, berusaha untuk memahami tapi tak sekalipun kamu hargai. Kalau ingin hubungan ini langgeng, belajarlah menghormati dan menghargai aku meskipun aku belum bisa memberikan lebih”. Membacanya aku menangis, membayangkan semua kebaikan dan kelembutannya selama ini. Dengan perasaan galau aku menelponnya tapi tidak diangkat. Aku lalu mengirim sms, menyatakan penyesalanku, keinginanku untuk berubah dan lebih memahaminya, serta memintanya pulang. Lelah karena emosi, aku tertidur.

Subuh aku terbangun, aku tak sendiri, disampingku suami tidur lelap dengan satu tangan melingkar dipinggangku. Aku menghirup harum cologne-nya dan menempelkan hidung ke pipinya. Aku tahu amarahnya telah surut, dan aku bersyukur karena suamiku tak pernah marah berkepanjangan. Satu hal yang aku tahu aku harus belajar memahaminya, menghargai pemberiannya, menghormatinya sebagaimana seharusnya seorang istri kepada suami, dan menjaga komunikasi yang intens dengannya.

Februari 2008

Tidak ada komentar: